B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #20

Bukan Kebaikan di Bulan Ramadhan

Ya, bunyi ketukan palu hakim itu mirip bunyi benda berat yang jatuh. Persis bunyi kardus berisi potongan tubuh Amin yang kulempar ke sisi jalan yang sepi, dua tahun lalu. 


Jakarta, Menjelang Lebaran 2008


Jakarta lengang. Orang-orang sudah pulang kampung. Keberisikan yang selama ini mengapung di udara seakan raib. Lenyap sama sekali. Dan itu menegaskan bahwa Jakarta bukanlah rumah bagi sebagian besar orang di sini. Mereka datang untuk mencari uang, mencari penghidupan. Ironisnya, mereka melakukannya dengan mati-matian. Akhirnya, mereka bisa mati beneran.

Beberapa hari lagi, Jakarta akan kembali penuh. Terbayang di kepalaku, tentang geliat di terminal-terminal dan sejumlah stasiun ibu kota ini. Bus-bus dan kereta api akan memuntahkan segerombolan manusia. Kerumunan itu akan berpencar, berjalan saling menyilang, sejajar, dan beberapa darinya lari-lari kecil membawa tas dan kardus dari kampung halaman.

Sebagian lagi akan menyibak bahu satu sama lain. Menghirup bau parfum murahan bercampur aroma makanan dan keringat di tengah lenguhan bunyi klakson atau peluit kereta api yang bersirebut ruang dengan teriakan-teriakan orang. Lalu mata mereka pun terhisap sesuatu. Mereka menatap-natap ke depan, mencari entah apa. Debu-debu dan asap kendaraan akan kembali memenuhi rongga paru. Klakson dan makian akan menjerit-jerit kembali di tengah kemacetan. Pada saat itulah denyut kehidupan Jakarta benar-benar terasa bangkit. Hidup kembali.

Aku berdiri di sebuah persimpangan depan Apotek Sehat Selalu. Di sini, biasanya anak kecil berambut lurus sebahu itu mangkal. Dia sesekali berjualan, sesekali mengamen. Kadang pula dia hanya duduk diam dan mengamati lalu lalang orang. 

Aku sudah lama mengamatinya. Sudah lama melihat bahwa dia adalah teman yang tepat untuk melengkapi perayaan ulang tahunku di tahun ini. 

Meski begitu, aku dengan sabar menunggu sampai aku benar-benar tahu siapa dirinya. Kuamati dari kejauhan. Kadang aku mendekat hanya untuk seolah sekadar selintas bertemu, seolah itu tidak sengaja dan bukan kejadian yang cukup istimewa. 

Aku berharap kami bisa berbicara sebelum masuk bulan September. Meski menginginkan hal itu terjadi, aku tidak ingin memulai. Aku ingin anak lelaki itulah yang menciptakan kejadian hingga kami bisa berbincang. 

Kesabaranku membuahkan hasil, meski terlambat dari waktu yang kutetapkan. Waktu itu, menjelang ulang tahunku di awal September, kami berpapasan dan dia tidak sengaja menabrakku. Dengan gerakan gesit nyaris tak terlihat, kudorong kotak asongan yang ada di dadaku. Hal itulah yang membuat daganganku berhamburan. 

Dia lekas minta maaf dan membantu memungut botol air kemasan dan rokok. Aku mula-mula tersenyum padanya. Aku ingin memberi kesan bahwa aku tidak mempermasalahkan hal itu. Namun, dia tak boleh lolos. Kami harus berbincang. Jadi, aku memintanya membantu membawa beberapa barang yang jatuh untuk kutata ulang dalam kotak yang kubawa. 

Kami duduk di kursi depan Apotek Sehat Selalu. Aku menata ulang barang dagangan dengan pelan. Dia mengamatiku. Mungkin karena menangkap kesan kalau aku tidak marah, dia pun mengajakku berbincang. Awalnya tentu saja kami berkenalan. 

Dia mengenalkan diri sebagai Amin. Badannya kurus dan tinggi. Itu membuatnya tampak seperti anak remaja tanggung dengan muka bingung. Rambut lurusnya kemerahan tanda kena sinar matahari terus-terusan. Bibirnya sedikit tebal. Gigi taring sebelah kirinya rompal. Mungkin karena itu Amin terlihat tidak percaya diri untuk tersenyum. Dia tampak menjadi anak laki-laki yang sempurna ketika kulihat matanya yang kelam. 

“Lu harusnya seneng dikasih nama Amin. Orang selalu bilang amin setelah berdoa,” kataku menggodanya. Aku tidak ingin dia berpikir aku dendam karena menabrakku tadi. Lagipula semua barang daganganku masih utuh. Jadi, aku tidak benar-benar mengalami kerugian. Kalaupun barang-barang itu ada yang rusak, aku juga tidak rugi karena akhirnya bisa bicara dengannya. 

Amin tertawa sekilas. Jenis tawa yang hanya sekadarnya. “Kan nggak semua orang berdoa, Beh,” katanya.

“Bentar lagi banyak yang berdoa. Kan Ramadhan. Jadi nama lu bakal disebut-sebut terus,” kataku. 

“Nggak semua orang berbuat baik di bulan Ramadhan, Be. Aku juga berdoa seingatnya saja, Be. Mungkin Babe juga gitu. Orang-orang juga bisa aja cuma begitu doang, kan?” katanya.

Aku terbahak. Buat anak seumurannya, Amin terlalu sempurna sinisnya. Ekspresi mukanya tenang, bahkan terlalu tenang. Dia sibuk memainkan gitar kecilnya tanpa aku tahu lagu yang dimainkan. “Minimal emak bapak lu berdoa lah,” kataku setelah reda tertawa. 

Dia berhenti memainkan gitar kecil itu. Setelah tampak termenung-menung sesaat, dia melanjutkan memetik gitar itu seolah tak mendengar pernyataanku tadi. Aku jadi penasaran. Dengan sengaja kuulang kata-kataku. “Bener kan kata gua? Emak bapak lu pastinya selalu berdoa buat lu.”

Dia menoleh padaku sesaat. Matanya yang kelam itu sepintas tampak berkilat. Seperti ada cahaya yang menimpa sebilah pisau yang tajam. Tapi itu hanya sesaat. “Aku nggak punya emak bapak,” katanya lalu meneruskan bermain gitar. 

“Trus lu lahir dari batu? Atau jatuh gitu aja dari langit? Pantesan gigi lu rompal,” kataku. Aku kembali terbahak. 

Tak ada ekspresi sedih atau apapun tergores di wajahnya. Dia tampak biasa saja, seolah ejekan yang baru kulontarkan tidak berdampak apa-apa pada hatinya. Seolah sepanjang hidupnya memang tak pernah ada makhluk yang bisa disebut sebagai bapak dan emak. 

“Lu anak yatim piatu? Dari bayi dititip di panti asuhan?” Aku bertanya hati-hati. Dia menghentikan petikan gitarnya. Dipeluknya benda itu seolah hanya itulah satu-satunya miliknya yang berharga. “Heh, gua tanya ….”

Lihat selengkapnya