B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #21

Perkara Kecil

Jakarta, 2010


Perkara dianggap bertobat itu ternyata di waktu kini akan diungkit lagi. Aku tertawa saja mengingat secuil perbincangan dengan Broto di masa lalu. Ternyata, kalau mengakui dan berjanji tidak akan mengulangi memang bisa membantu menyelamatkan sisa nasib yang tak keruan. Ini sungguh menggelikan.

Bagaimana bisa orang mempercayai janji? Padahal hidupku telah mengajarkan sesuatu yang jelas padaku: di muka bumi ini, tidak ada hal yang bisa dipercaya. 

Kebaikan kecil yang pernah kulakukan ternyata juga menjadi hal tak terduga dari rangkaian sidang melelahkan ini. Bagas menyampaikan bahwa dia mengenalku sebagai seorang penyayang. Penyayang. Bayangkan hal itu melekat padaku. Oh, itu membuat geli saja. 

Kata Bagas, aku menerimanya untuk tinggal bersamaku selama bertahun-tahun. Anak itu pun tak pernah kusentuh sembarangan. Ya, sebenarnya karena muka bulatnya yang lucu dan matanya yang berbinar-binar itu. Bagas tidak masuk seleraku, bukan tipe yang bisa membangkitkan gairah hidupku. 

Aku tak pernah bisa membayangkan bahwa menyentuh Bagas akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tubuhnya sedikit gempal. Itu menunjukkan hobinya yang suka makan dan serba cukup ketimbang anak jalanan lain. Bagaimana bisa aku menyelamatkan makhluk pemakan seperti dia?

Begini, sudah kukatakan, dalam rangka ulang tahunku aku selalu memilih anak lelaki yang perlu diselamatkan. Mereka pastinya punya kesamaan denganku. Sesuatu yang membuat mereka terdepak ke jalanan, hal yang membuat mereka mesti merasai sesuatu yang pahit dan buruk. 

Aku hanya memilih anak-anak yang matanya kelam. Mata yang seolah tak ada nyawa di sana, seolah tidak ada harapan untuk hidup lebih baik. Mata yang membuatmu berpikir bahwa di depan sana yang ada hanya kegelapan. Kegelapan yang tanpa jendela atau lubang-lubang kecil yang mana cahaya bisa lolos dan ikut menyusup. 

Masalahnya, mata Bagas tidak seperti itu. Matanya menyiratkan pikirannya yang polos dan kekanak-kanakan. Dia tampaknya tidak punya beban saat diajak bicara tentang masa depan. Nanti mau jadi apa? Dia selalu bisa memberi jawaban. Itu menunjukkan bahwa dia masih menyimpan harapan dan mimpi, meski seharusnya dia tidak memiliki keduanya.

Coba katakan padaku, bagaimana bisa orang yang telah terhempas di kerasnya hidup jalanan–yang telah kenyang diliriki mata-mata penuh curiga di lampu merah yang menatap iba dan penuh simpati busuk palsu yang menjijikkan, atau rasa sebal tersembunyi seakan ingin memaki agar kami bekerja lebih layak, dan barang kali saja di kepala mereka muncul banyak nada-nada tanya kenapa kami begini sambil diam-diam berharap agar anak mereka, saudara mereka, atau orang kecintaan mereka jangan sampai seperti kami–kenapa masih bisa punya harapan?

Bagaimana ceritanya dia bisa punya keinginan nasib baik menghampirinya padahal penghasilannya hanya cukup untuk makan (dan memang dia makannya sedikit lebih banyak dari yang lainnya)?

Sudah kuceritakan padamu tentang Indra, anak lelaki yang kusesali karena jadi akhir perayaan ulang tahunku itu. Juga pernah kuceritakan tentang Fadil yang selalu dilafalkan sebagai Padil, anak Mpok Mun. Aku terganggu dengan kecemasan Mang Asep saat anak itu hilang dan ditemukan tepotong-potong. Aku benci menyadari orang bisa begitu peduli padahal orang itu bukanlah siapa-siapa di hidup Fadil. 

Aku juga sudah berkisah tentang Ipan yang menjadi orang pertama di warung nasi padang. Dia memilih menu telur dadar dengan kuah gulai melimpah. Tak perlu kuceritakan tentang Wawan yang punya kakak perempuan dengan mata menyala-nyala itu. Dia tidak menarik untuk diceritakan, terlalu ringkih dan tak ada kesulitan sama sekali saat aku menyelesaikan perayaan ulang tahunku. 

Tapi, selain Indra, ada satu orang lagi yang sebenarnya tidak pas. Kalau Indra lebih karena tata cara dan dia dikenal Bagas, kalau anak lelaki yang akan kuceritakan ini membuatku sedikit sulit tidur selama beberapa hari. Itu karena aku selalu merasa mendengar suaranya. 

Namanya Abdul. Kadang dia dipanggil Dudul. Hampir seluruh dari dirinya memenuhi kriteria orang yang kupilih. Kecuali dia berbibir sumbing. Meski sudah menjalani operasi, sisa bibir sumbingnya itu sedikit mengganggu. Sebab, saat dia tersenyum seraya menatapku, itu terasa ganjil sekali. Dan hal itu selalu mengingatkanku pada satu orang lagi yang kurasa kau pun tahu: ya, Mat Jambronk. 

Soal bibirnya yang sumbing ini menjadi perkara kecil yang harus kuselesaikan. Caranya ya aku tak mau banyak kata dengannya. Aku menyelesaikan cepat-cepat semuanya sesuai tata cara yang kubuat selama ini. 

Aku membawanya ke sebuah toilet yang jarang dipakai. Toilet itu ada di dekat pasar. Karena sudah lama rusak dan bangunannya yang setengah hancur, nyaris tidak ada orang yang mau singgah ke sana. Aku sudah mengamati bahwa tempat itu akan menjadi tempat yang sempurna untuk bersama Dudul.

Mula-mula, dan itu prosedur biasa, aku menyimpan pisau tajam dan sebilah parang di sana. Aku juga menyiapkan jas hujan sekali pakai di sela atap yang rombeng nyaris jatuh itu. Kupastikan tali rafia merah ada di saku celanaku sebelum aku memanggilnya ke tempat itu. 

“Adha avah, Bheh?” tanya Dudul. Aku ingin mengorek kupingku tiap mendengarnya bicara dengan bunyi aneh semacam itu. Muka Dudul tampak tak menyiratkan sedikit pun rasa curiga padaku. 

“Gua ada perlu sama lu,” kataku. “Lu pernah ada main sama Mat Jambronk, kan? Sama preman di pasar raya juga pernah.” Aku memandanginya dari atas ke bawah. 

Matanya berkilat sedikit. Dia tampak menghela napas seolah tak akan melakukan perlawanan apa-apa dan hal semacam ini akan terus terjadi pada dirinya. “Bhabeh jugha mau gituin ahye?” tanyanya dengan nada sengau yang begitu kental. 

Lihat selengkapnya