B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #22

Dari Desa Menghampiri Malapetaka

Cahaya yang mempertegas debu-debu berterbangan itu seperti menyeretku secara paksa untuk kembali pada bukit tempatku merenung. Bukit di dekat sungai tempatku diam-diam merokok bersama Misnan.

Kau mungkin masih ingat pada momen di masa kecil ketika aku menuruni bukit itu dan begitu gamang saat menemukan rumahku yang sepi. Bahkan dapur tidak lagi dipenuhi dengan asap yang menyesakkan. Kau masih ingat, saat itu aku duduk di lincak dan seorang tetangga terengah-engah mengabarkan hal buruk. 

Bapak ditangkap karena mencuri radio. Setelah mendengar kabar itu, aku melesat mencarinya. 

Bapakku akhirnya tewas. Hanya sekian menit setelah sekarat dengan wajah bonyok dan remuk-remuk di sekujur badan. Ia habis dihajar massa dengan kaki, tangan, dan benda-benda acak. Pakaiannya sudah lepas dari tubuh. Terkoyak-koyak. Kulihat badannya penuh lebam dan benjolan ungu biru dan merah yang menetes-netes. Beberapa giginya pun rompal. Hidungnya sudah penceng.

Anehnya, saat itu aku sama sekali tak menangis. Aku juga tidak menangisinya di hari-hari setelahnya. Tapi aku tahu betul tubuhku begitu kaku. Kakiku terasa seperti terpancang di tanah tempatku memijak. 

Sementara mataku mengeja kerumunan itu. Kulihat ibuku ternyata berada di seberang dari tempatku. Ia menjerit-jerit, tapi begitu lirih. Lalu bersimpuh menggesek tanah, menghampiri pelan tubuh bapakku yang tergeletak tanpa gerak dikerumuni orang-orang beringas yang melingkarinya.

Aku ingat betul, tangan ibuku bergetar saat itu. Suaranya seperti tercekik. Ia seolah ingin merobek langit dengan tangis, tapi yang keluar justru mirip cicit tikus yang ketakutan. “Paaak … piye to Pak?” 

Pak, bagaimana to, Pak, begitu kata ibuku waktu itu. Kenapa ibu bertanya pada bapak yang jelas tak bisa menjawab? Mengapa ibu masih mengajukan pertanyaan itu?

“Kok ndadak nyolong, Pak … Gustiii ….” Aku memandang ibu dengan tanya yang tak kuuucapkan. Mengapa ibu bertanya mengapa Bapak mencuri? Bukankah jelas hidup yang rumit telah mencekik kami selama ini? Dia mencuri jika bukan untuk makan kami–istri dan anaknya–ya jelas untuk kesenangannya sendiri.

Para warga di depanku tampak menyadari kehadiranku. Mereka menatapku berdiri di sela-sela kerumunan. Tatapan mata mereka yang semula penuh amuk terlihat perlahan-lahan mereda. Tangan-tangan terkepal dengan sisa-sisa merah lengket itu kini melemas. Napas memburu mereka semakin tertata.

Dan itulah kematian pertama dalam hidupku. Setelah itu hanya tersisa keheningan. Juga ingatan yang berkabut dan sulit kuingat lagi.

Setelah itu, ingatanku hanya berisi seorang ibu yang tinggal sendirian. Walau bersamaku dan adikku, mata ibuku tak pernah lagi sama. Seakan ada jarak teramat jauh yang harus kutempuh untuk mendekatinya. Pipinya pun semakin tirus. Badannya ringkih. Tonjolan tulang lengannya juga semakin terlihat jelas.

Ia memang masih memasak untuk memberi makan aku dan menyuapi adikku. Ibuku pun masih berkebun di halaman sempit depan gubuk kami sebisanya. Sesekali, ia ikut menjadi buruh pencabut gulma di musim tertentu. Semua itu dilakukannya dengan tanpa banyak suara. Tanpa imbauan dan bentakan. Tak ada lagi teriakan ibu ketika aku mandi dan bermain air. Yang tersisa hanya gumam lirih, tapi begitu menusuk.

 “Mau jadi apa kalau nggak sekolah?” tanya ibuku lemas sembari menata kayu bakar di dekat tungku ketika aku memutuskan untuk bolos. Tidak ada tenaga, apalagi amarah, dalam suaranya.

Namun aku tak menggubris. Percuma membalas pertanyaan dari orang yang sekadar punya niat untuk hidup saja tidak.

Dan itu berlangsung cukup lama. Hari-hari selanjutnya berjalan seperti anjing pincang yang bisu. Aku sudah mulai muak. Hidup tanpa percakapan ternyata semenyedihkan ini. Semuram ini. Kau tahu bagian terburuk dalam keluarga: iya, saat kau merasa mengganggu satu-satunya orang yang kau percaya dan ingin kau ajak bicara. 

Dan aku tak merasakan kehadiran ibuku lagi. Aku jadi terngiang kembali pesannya semasih bapak hidup. Ibu menyampaikan padaku begitu mengamati anaknya ini tidak begitu punya teman, kecuali Misnan. Ia pernah berpesan padaku dengan nada serius dan masih bertenaga. “Kalau kau sudah besar, walaupun hidupmu menderita, jangan pernah sendirian. Sendirian hanya akan memperparah penderitaanmu.”

Sialan. Sekarang justru orang yang mengimbau itu yang membuatku merasa sendirian. Ia pun tak pernah berbagi perasaannya padaku. Omong kosong. 

Lihat selengkapnya