Jakarta, 1972—1974
Setiba di Jakarta, baru kusadari ternyata kehidupan ibu kota ini tidak seperti yang kubayangkan. Di jantung kota ini, sulit sekali mendapatkan kerja. Orang-orang tidak seramah seperti di Jogja. Terminal dan stasiun riuh tanpa senyum kecuali pada mereka yang berduit. Pojokan besi yang sering bau pesing itu tergeletak malas di dekat warung yang berserak kertas minyak dan bungkus daun pisang. Sampah-sampah tampak begitu saja memenuhi ruang-ruang terbuka, juga plastik-plastik beraneka warna itu.
Namun di kota inilah aku sehari-hari melanjutkan napas. Walau sudah memasang muka melas, di sini tetap sulit mendapat kerja. Aku akhirnya menggelandang. Untuk mengisi perut, saban hari aku mengais-ngais sisa sampah makanan di pinggiran warung, emperan toko-toko, dan di sisi penjual kaki lima yang laris.
Pada hari tertentu, aku berjumpa seorang pemulung. Akhirnya terbersit ide di kepalaku. Aku bertanya ke pemulung itu, di mana tempat untuk menyetor hasil rongsok yang dikumpulkannya.
Sejak saat itulah hari-hari penuh laparku mulai berkurang. Aku memulung, menjualnya, lantas memulung lagi. Begitulah aku bertahan hidup di ibu kota.
Malam hari kuhabiskan dengan tidur di emperan jalan yang memungkinkan, atau di bawah lindungan beton jembatan jika musim hujan tiba. Yang membangunkanku setiap pagi, jika bukan sinar mentari, tentu saja suara sapu-sapu menggesek daun dan aspal jalanan yang merubung telingaku. Keseharian seperti itu kujalani hampir genap dua tahun.
Sampai tiba pada dini hari itu. Dini hari keparat yang sangat keparat dari semua dini hari yang kualami.
Aku terbangun ketika ada kaki seseorang mendepak-depak betisku, menggoyang-goyangkan tubuhku secara kasar. Mataku belum sepenuhnya sadar, tapi kulihat siluet seorang lelaki berambut tebal. Kurasa rambutnya itu menutupi kuping dan separuh lehernya. Aku masih berkedip-kedip, mengucek mata, lalu duduk. Kubaca wajahnya dengan mataku yang berangsur-angsur penuh.
“Eh, bocah, ngapain lu tiduran di sini?” kata lelaki berjaket itu. Nadanya kasar, seperti orang-orang di terminal dan stasiun yang tanpa senyum di ibu kota ini.
“Ada apa, Bang?” Kujawab sekenanya sambil memupuk kesadaran. Gelap sekali malam ini, belum bisa kubaca wajahnya di bawah jembatan ini. Sinar rembulan mungkin sedang sembunyi.
“Tidur tuh jangan di sini, goblok! Di sini tempat orang mabok dan teler …,” terangnya. Suaranya terdengar masih dengan nada yang sama.
“Duh, maaf, Bang.” Aku menjadi salah tingkah dan kikuk. Baik betul orang ini mengingatkanku bahwa tempat ini dipenuhi orang mabuk dan teler. Pikiran itu sempat menyusup di otakku, meski setelahnya aku mengutuk pikiran itu.
“Lu nggak punya temen apa?” tanyanya. Setelah kulihat dengan lebih jelas, aku bisa tahu lelaki itu berambut sedikit kriwul dan berjaket hitam rombeng. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Kedua telapak tangannya sembunyi ke dalam saku celana.
Aku mengangguk segan. Aku tak peduli apakah dia bisa melihat atau tidak anggukanku. Aku bangkit dan mengibas-ibaskan debu-debu di pakaian pramukaku. Kulipat kardus yang semula kujadikan kasur. Jelas aku berniat berpindah tempat.
Meski tak sungguh jelas bisa melihatnya, ada raut mencurigakan dan hawa bahaya dari orang ini. Aku merasa mesti waspada terhadapnya.
Tiba-tiba lelaki berjaket itu mengeluarkan kedua tangannya. Lalu mendorongku ke tembok jembatan itu. Sontak aku kaget. Badanku debam terbentur. Kepalaku terjedut.
“Bang, salah apa aku, Bang? Aku nggak punya uang, Bang …,” desahku setengah menjerit, merasa terdesak.
“Diem, Lu!”
Lelaki itu menekan kepalaku ke tembok dengan satu tangannya. Ia tampak tergopoh-gopoh merogoh saku. Wah, tampaknya dia akan mengambil sebilah pisau untuk disayatkan ke leherku. Mungkin dia tak percaya aku tak memiliki uang.
Namun, astaga. Tidak, dia tidak mencari pisau atau senjata tajam lainnya. Dia sedang melepas celananya!
Cepat-cepat tangan satunya membuka sabuk dan resleting. Bunyinya terasa memekakkan telingaku saat itu. Bunyi yang begitu kubenci hingga saat ini.
Dengan gerak cepat, tangan itu memelorotkan celana pendekku. Aku berontak. Kuarahkan badanku memutar. Kuusahakan tanganku menepis tangannya yang memegang kepalaku dan ingin segera kupukul perutnya. Tapi dengan sigap ia menangkis, dan menamparku.
Ia memaki dengan mendelik. Kini kulihat wajahnya. Hidung dan matanya seperti iblis. Bibirnya kering dengan muka kasap yang bergeronjal seperti habis diparut. Semakin mengesankan betapa iblis orang ini. Aku hendak berlari, tapi ia menahan kerah bajuku. Ditariknya tubuhku ke arahnya. Kini bogem menghantam pipiku. Aku terjatuh.