B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #24

Mosaik

Aku lupa sejenak pada M di tanganku saat perempuan yang duduk di depan sana kembali berbicara. “Terdakwa tidak merasa sedih atau menyesal telah melakukan kekerasan dan pembunuhan itu. Dalam perspektif terdakwa, ia hanya merayakan ulang tahunnya saja. Ia juga merasa telah menjadi penyelamat bagi anak-anak jalanan itu. Maksudnya, ia menganggap dengan mengakhiri hidup anak jalanan itu, para korban tidak perlu lagi mengalami rasa sakit berkepanjangan seperti yang dialaminya ….”

Suara gemuruh penuh amarah kembali terdengar. Suara gaduh itu berasal dari belakangku, dari orang-orang yang tak setuju dengan ucapan perempuan itu. Ck, menjengkelkan. 

“Halah, bajingan itu.”

“Sekali bajingan ya tetap bajingan.”

Kan sudah kubilang, aku tidak suka ada orang di belakangku? Apalagi orang itu berteriak, memaki, menuntaskan hawa nafsu untuk menuding orang lain. Aih, macam tak pernah punya dosa saja.

“Pembunuh kok penolong sih?”

“Gila. Ngawur itu!”

Aku ingin berada di belakang orang-orang itu. Orang yang begitu keras menyebut orang lain sebagai pembunuh. Aku benci orang yang hanya berani berbuat kasar di belakangku. Aku haruslah berada di belakang, mendorong, mendesak, dan … menyelamatkan kesesatan pikiran mereka!

Hakim mengetuk-ngetuk palu. Ia tampaknya tidak suka pada reaksi penonton. Aku berusaha menahan tawa. Agar tawaku tak pecah berhamburan, aku mengalihkan pandangan ke sisi kiri. Pada saat itulah, mataku bertemu dengan tatapan Yekti yang duduk dekat dengan tembok. 

“Pelakunya bukan Mat Jambronk. Ya kan, Beh?” Rasanya pertanyaan itulah yang disampaikan melalui mata menyala Yekti. “Aku benar, kan? Babeh pelaku semua ini, sejak awal Mat Jambronk bukan pelakunya! Nggak mungkin korban Babe cuma enam orang. Nggak mungkin!” Tampaknya itulah yang disampaikan mata Yekti kemudian. 

Dasar pelacur murahan. Matanya menyala seolah mencari kebenaran dengan mencoba mendesakku membuat pengakuan. Tentu saja, dan untungnya, aku hanya diam. Kupandangi leher jenjangnya mencoba mencari jejak merah yang biasa terlihat jelas usai dia bertemu dengan Broto. Tapi kemeja putih dengan kerah bersih itu tidak menampilkan hal yang kucari. 

Kurapatkan alis. Berkerut. Rasanya baru kali ini kulihat Yekti memakai kemeja berwarna putih. Lengan kemejanya tergulung dan aku ingat ada tato titik koma di pergelangan tangannya. Dia memakai celana hitam yang tampak membalut bagian bawah tubuhnya dengan pas. Ia juga mengenakan sabuk yang cukup besar dan … gila! Sejak kapan Yekti punya sepatu pantofel berkilat seperti itu? 

Pada saat itulah, aku menyadari sesuatu. Yekti pernah tampak begitu marah, menunjuk, meniru gerakan menjerat leher. Ya, aku yakin dan sangat ingat kejadian itu. Itu terjadi ketika aku usai makan di warung masakan padang, tepat di perayaan ulang tahunku yang pertama tanpa Mat Jambronk. 

Aku pernah didera rasa ingin tahu melihatnya begitu marah saat itu. Caranya menjelaskan seolah dia melihat pelaku yang menjerat korban, menarik tali itu, lalu membuat korban terdiam selamanya. Aku yakin pernah begitu terganggu saat melihatnya meraung melihat potongan tubuh Amin. 

Namun beragam tanya yang berkelebat di kepalaku tetaplah menjadi tanya yang abadi. Aku tak pernah menemukan jawaban mengapa Yekti begitu ingin membuktikan bahwa Mat Jambronk tidak bersalah. Bukankah dia pernah mengatakan padaku bahwa lelaki itu tampak kurang waras untuk menyayat dan memisahkan bagian tubuh satu dari yang lainnya?

Aku berdeham meski dengan suara selirih mungkin. Aku akan mengembalikan pandangan ke meja hakim saat kulihat seorang lelaki berjalan dan berhenti di dekat Yekti. Lelaki itu Broto. Dia berbisik dan Yekti berdiri mengikuti Broto meninggalkan ruangan. 

Heh, kenapa Broto berpenampilan mirip dengan Yekti? Rambutnya yang panjang itu dikuncir seperti biasa. Tapi lelaki itu juga mengenakan kemeja putih dan celana yang membekap tubuh bawahnya dengan sempurna. Rapi betul mereka. Dan kilat pantofel di kakinya itu amat menggangguku.

Kilat itulah yang kemudian mematik kenangan akan tatapan Broto. Asap rokoknya keluar perlahan saat aku menertawakan idenya tentang pembunuh yang sedang insaf di bulan puasa. “Kejadiannya tiap September, Beh. Awal September. Udah kayak pola saja. Tapi bulan ini bulan baik, mungkin pelakunya insaf.” kata Broto saat itu. 

Kalimatnya terdengar begitu yakin dan seolah menjadi harapan banyak orang. Aku ingat betul, saat itu aku terbahak. Setelahnya, kusadari lelaki itu memandangiku dari balik asap rokok yang dihisapnya. Asap itu lalu diembuskannya tanpa melepas batang rokok dari mulutnya yang tipis dan menghitam. 

Sesuatu seperti hewan kecil terasa mendekat. Ekornya naik dan capitnya tampak siaga. Kalajengking kecil! Aku seperti melihat kalajengking dengan matanya yang begitu banyak, tapi fokus mengarah padaku. Kalajengking itu seperti keluar dari lapisan kulit Yekti dan Broto lalu menjelma menjadi hewan sungguhan yang siap melumpuhkanku. 

Melumpuhkan. Ya, tampaknya dua kalajengking itu hendak melumpuhkanku di waktu lalu. Kini, kurasa aku tahu mengapa Yekti dan Broto berlaku ganjil, sama ganjilnya dengan Mat Jambronk. Kurasa, aku tahu tatapan Yekti yang siap memangsa itu. Tatapan yang begitu yakin bahwa pelaku semua ini bukanlah Mat Jambronk. Juga pada kata “insaf” yang semula tampak begitu lugu, tapi membuat lelaki yang rambutnya berkarat dan memuakkan itu seperti menemukan potongan puzzle yang hilang. 

Sialan. Sungguh sialan! Aku menggeleng mencoba mengusir berbagai pikiran yang mampir merasuk. Tidak. Yekti tetaplah pelacur murahan dan Broto adalah tukang parkir yang tak punya masa depan. Benar, kan? Harusnya aku benar, kan?

“Duduuulll … Kasihan Duduuul. Bangsaaat … mati aja kaaauuu!”

Lihat selengkapnya