B A L I A

Wulansaf
Chapter #2

S A T U

  Balia sedang duduk di depan meja, membuka kotak berisi foto fotonya bersama Binar. Balia memperhatikan fotonya satu persatu, foto paling banyak diambil ketika mereka bertambah umur setiap tahun. Dari ulang tahun yang pertama sampai yang ke lima belas mereka selalu merayakannya walau hanya makan-makan sederhana. 

  Balia POV 

  “Lagian kenapa sih, ulang tahun kita harus sama?” beberapa hari lagi gue bakal denger kata-kata itu untuk yang ketiga kali setiap tahun dari orang yang sama. Dan semoga di tahun ini gue denger ucapan selamat ulang tahun dari Binar. Walaupun cuma sekadar. “Selamat ulang tahun, Balia!” gue seneng dan pasti akan lebih bahagia dihari yang bahagia. 

  Sayangnya, sekalipun gue nggak pernah denger ucapan selamat ulang tahun dari Binar. Kita dilahirkan dari keluarga yang berbeda. Gue yang penuh cinta sementara Binar yang butuh akan cinta. Bukan salah siapa-siapa. 

  Percaya nggak? Kalau selama Binar ulang tahun, dia pun nggak pernah denger ucapan selamat dari keluarganya, cium pipi kanan-kiri yang selama ini Papi dan Mami gue selalu lakuin sampai gue pun geli sendiri udah sebesar ini masih dicium sana- sini. 

  Tapi Tuhan itu adil banget, Binar selalu dapet pelukan dan ciuman dari Mami dan Papi gue, sampai suatu hari gue jadi mikir sendiri. Sebenernya Binar itu anak siapa? 

  Bahkan adiknya sendiri nggak bakal mau untuk sekadar mengucapkan atau lain sebagainya, gue pun nggak pernah tahu apa yang terjadi dengan keluargnya Binar. Dan selama beberapa tahun belakangan ini, gue selalu makan-makanan yang sama dengan Binar. Ibunya setiap hari selalu ngirim masakannya karena itu juga permintaannya Mami. Emang hati nggak bisa dibohongin, kalau orang-orang bilang masakan Ibunya yang paling enak, justru gue bilang masakan Ibunya Binar paling enak. 

Apa sebenernya Ibunya Binar itu adalah orangtua asli gue? Apa jangan jangan kita adalah anak tertukar? Jangan ngaco, deh, Bal!

  Gue sendiri pun lupa gimana rasanya masakan Mami. Semakin dewasa gue sendiri pun mengerti, keputusan Mami untuk berkarir nggak akan bisa diganggu gugat. Ada beberapa hal yang nggak akan kita mengerti kalau dipikirkan dengan sudut pandang diri sendiri. Kalau gue jadi Mami, pasti gue pun mau jadi ibu rumah tangga yang selalu ada untuk anak-anaknya, Ibu yang sempurna yang selalu ada intinya, tapi balik lagi, kalau kita jadi diri sendiri dan nggak mengerti orang lain, pasti selalu mikir bahwa seorang Ibu yang berkarir nggak akan pernah punya waktu sama anak-anaknya, nggak peduli anak-anaknya. 

  Semua itu salah, buktinya Mami selalu pintar untuk membagi waktu dengan anak-anaknya, nggak melulu dengan karirnya. Kalau gue jadi Mami pun, pasti gue menginginkan semua yang terbaik untuk anak-anak gue, fasilitas bagus, jalan-jalan, makan enak, itu semua ada karena kerja keras Mami. 

Lihat selengkapnya