Sudah dua minggu menjadi anak kelas dua belas membuat Balia semakin giat dalam belajar, berbanding terbalik dengan Binar yang semakai hari semakin santai.
Hari ini Pak Lumban-guru ekonomi paling kiler di sekolah ini mengajar dan akan meneruskan materi tentang perusahaan dagang.
Semua siswa dan siswi sibuk membenarkan buku jurnalnya masing-masing. Kalau berbeda sedikit pasti Pak Lumban nggak segan untuk main tangan.
Pelajaran ekonomi itu paling menegangkan dan paling berkesan. Semua deg-degan waktu tahu dia masuk kelas, atau dengerin Pak Lumban marah-marah di kelas sebelah bikin semua anak kelasan bergidik ngeri, tarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk tenang.
Apalagi kalo Pak Lumban nanya, kita harus tahu jawabannya apa. Kalau nggak tahu, kita boleh nanya balik. Asal jangan diem aja, nanti beliau bisa-bisa teriak atau ngerasa kesal karena didiemin sama murid-muridnya.
Tapi ada hal paling menyenangkan saat Pak Lumban bersedia menceritakan masa kecilnya yang menginspirasi. Di mana beliau itu asli orang Sumatera Utara.
"Dulu saya suka bantu Ibu-Bapak saya ngangkut hasil panen di pundak, makanya sekarang saya nggak punya leher. Jauh jaraknya, jaman dulu jalanan rusak, ngangkut hasil panen sendiri, beda sama sekarang. Jaman kalian itu semuanya serba ada! Makanya kau belajar lah yang serius, jangan mau kerja kaya orang yang ada di lampu merah sana! Susah memang memanusiakan manusia!"
"Yang laki! Belajar yang bener, emang istri elu bisa hidup kalo cuma dikasih makan cinta? Makan tuh, cinta!"
"Yang perempuan emang mau, punya suami miskin? Elu mau, punya suami nggak bisa apa-apa?" Semua perempuan menggeleng dan menunduk.
"Saya dulu nggak punya uang waktu kuliah, saya jarang makan. Tapi saya punya otak! Temen-temen sama cewek-cewek cantik dateng ke saya minta ajarin materi yang nggak dimengerti, selesainya saya ditraktir makan. Enak kan, jadi gue? Dikerubutin cewek-cewek cantik terus ditraktir makan." Semua murid tertawa dan saling menatap.
-
Semua anak kelasan baru bisa bernapas lega setelah pelajaran ekonomi selesai. Binar duduk di depan bangku Lisa untuk mengajaknya ke masjid lebih awal. "Babaa, ayooo!"
"Adzannya masih lama, Lo duluan aja deh, sana." Binar yang mendengarnya langsung terdiam dan meninggalkan Baba dibangkunya. Berjalan bersama Naya yang ingin ke masjid lebih awal juga.
Binar berjalan melewati koridor kelas sebelas, sedang berbincang dan sesekali tertawa karena menceritakan sesuatu yang lucu. Salah satu orang dari rombongan laki-laki selalu menatap Binar berbeda. Entah menatapnya hina, atau sebuah tanda suka.
Setelah selesai menunaikan shalat zuhur berjamaah, Binar duduk bersama teman-teman yang lainnya, bersalaman. Wajah Binar tiba-tiba saja berubah. "Lo marah sama gue ya, Nar? Gara-gara tadi, maafin, yaa." Lisa menatap mata Binar dengan rasa bersalah. Binar hanya menggeleng dan tersenyum simpul.
"Yah, gimana dong Binarnya marah." Liisa cemberut, melipat mukenanya dengan rapi.