Setelah kejadian malam itu, hati Balia menjadi kacau setelah ia mengakhiri semuanya.
Pagi ini Binar tidak datang seperti biasanya, tidak lagi datang pagi-pagi sekali untuk menyapa tanamannya. Tidak melihat wajah kesal Binar lagi saat Balia iseng menggodanya. Bahkan untuk pagi ini, Balia belum mengucapkan 'selamat pagi' seperti biasanya.
Balia melihat bayangan Binar sedang menyiram tanaman. Sungguh, rasanya seperti ditinggal Binar secara perlahan. Balia pun sudah tahu, jika ia melakukan semua itu, mengungkap semua kebohongannya, maka ia harus menerima semua konsekuensinya, kalau Binar pasti akan pergi dan membenci dirinya.
Balia duduk sambil mengetik sesuatu, ia harus menyelesaikan apa yang harus diselesaikan hari ini juga, sebelum ia pergi untuk beberapa hari, setidaknya Binar akan membacanya entah itu kapan. Semoga saja secepatnya.
Setelah menyelesaikan semuanya, Balia pergi ke kamar untuk membereskan semua baju-bajunya, liburan di kapal pesiar menjadi tidak menarik sebab hati Balia sedang kacau.
Ia pergi ke rumah Binar untuk menemui perempuan itu sebelum ia pergi berlibur beberapa hari bahkan bisa jadi dua minggu.
Balia bertemu Ibunya Binar yang sedang menyapu di luar. "Bu, Binar ada?"
"Ada, masuk sana. Binar lagi sakit dari kemarin."
"Hah? Sakit, Bu?"
"Iya, udah sana masuk. Siapa tahu ketemu kamu langsung sembuh." Ibunya tersenyum menatap Balia.
Balia pun langsung masuk dan naik ke lantai dua untuk menemui Binar. Balia mengetuk pintu kamar Binar yang tidak terkunci.
Binar tak lama membuka pintu kamarnya, wajahnya terlihat pucat, matanya sembab dan hari ini Binar terlihat berbeda.
"Gue nggak mau liat muka penipu lagi dan gue harap Lo pergi!"
"Nar..."
"PERGIII!!!" Binar berteriak kencang, menutup pintu kamarnya dengan kasar. Binar terduduk di belakang pintu, menutup mulut agar suara tangisnya tidak pecah.
Balia pun mendekat ke pintu. "Nar, maafin gue, ya. Lo akan tahu semuanya suatu saat nanti." Balia pergi meninggalkan kamar Binar dengan kecewa, ia sudah tahu akhirnya akan seperti ini. Berpisah begitu saja.
Balia memutuskan pergi ke dermaga lebih cepat dari jadwal seharusnya. Sudah tidak ada alasan apa-apa lagi untuknya bertahan di sini lebih lama lagi.
Sementara Binar masih belum menerima segalanya, ia masih belum percaya kalau Balia tega melakukan semuanya.
Balia sudah merapihkan semua keperluannya, ia meminta Dean untuk membawa beberapa tas agar dimasukkan ke dalam mobil.
"De, gue titip sesuatu ya buat Binar." Balia meletakkan bungkusan berwarna putih yang ia letakkan di atas meja.
"Kasih lah sendiri, tumben amat pake kurir." Dean mengintip isi bungkusan itu.
"Jangan ngintip-ngintip!" Balia menutup bungkusan itu cepat-cepat. Meletakkannya di tempat lain. "Pokoknya jangan lupa kasih Binar, awas aja sampe di intip-intip!"
Setelah memberikan bungkusan itu, Balia masuk ke dalam mobil bersama dengan Dean dan Sagita yang akan mengantarnya. Ah, seharusnya Binar hari ini ikut mengantarnya juga.
Mobil Balia keluar dari rumahnya, ia melihat rumah Binar yang sepi, laki-laki tampan itu menatap ke jendela lantai dua kamar Binar, andai Binar melihatnya pergi hari ini.
Beberapa jam di perjalanan membuat Balia tertidur lelap. Mengerjap beberapa kali setelah supirnya membangunkannya kalau ternyata sudah sampai di dermaga.
Balia memeluk erat Gita, bahkan perempuan kecil itu menangis di pelukannya. Tidak ingin ditinggal Balia walau hanya sebentar saja.
"Nggak apa-apa dek, Abang perginya sebentar. Nanti Abang Dean yang jagain Sagita, ya?"
Sagita terus menangis melihat Balia yang perlahan menjauh, membawa beberapa barangnya dibantu supir. Kalau sudah nangis seperti ini, Dean bingung bagaimana cara mendiamkan Sagita. Karena yang bisa hanya dua orang, Balia atau Binar saja.
Akhirnya Sagita tertidur setelah lelah menangis melihat Balia pergi. Dean dari dalam mobil mencoba menghubungi Binar tapi ponselnya tidak aktif.