“Katanya, Hanan itu cowok paling populer di sekolah ini?”
“Benar! Gantengnya dia itu, ganteng di atas ganteng. Kalau bapakmu ganteng nih, nah dia juawuh lebih ganteng!”
“Jangan percaya Karin, hoax itu hoax!”
Dua orang gadis itu menoleh ke belakangnya. Seorang telah melipat kedua tangannya di depan dada, sementara satu lagi menatap lugu.
“Hoax, soalnya dia suka cowok!” Gadis di belakang itu berbisik dan tersenyum jahil.
“Kita semua tahu jika kalian itu saudara sepupu. Kamu hanya terlalu sering melihat dia, itulah kenapa bagimu dia tidak tampan lagi.” Kedua tangannya yang terlipat bergerak untuk menyentil dahi si kukuh akan hoax itu.
“Karin! Sakit, Mbing!”
“Velina, jangan dengerin apa kata Nanda. Dia itu emang anti cowok!” Karin menepuk pundak Velina yang memperhatikan kedua orang di dekatnya itu polos.
“Nanda namanya mirip sama Hanan, ya? Kalian kakak adik?” Velina menatap Nanda yang langsung mengerutkan alisnya.
“Mirip apanya?” batin Nanda.
“Sepupu, Vel. Mereka sepupu. Bapaknya itu kakaknya Papa Hanan,” kata Karin, menjelaskan.
“Tapi kok Nanda tau kalau Hanan suka cowok?”
“Orang Hanan tinggal di rumahnya Nanda,” sahut Karin, kali ini Nanda mengangguk--mengiyakan.
“Beneran suka cowok?” Velina mulai agak merinding dengan apa yang ia ketahui. Bagianya, Hanan terlalu tampan bahkan terkesan sangat lakik.
“Hoax itu. Jangan percaya sama Nanda! Buktinya Hanan punya pacar itu si cantik Elisa,” ucap Karin yang mendapat helaan napas lega dari Velina.
“Eh, Vel! Kamu, kan, murid baru di sini. Mending ke kantin, dari pada duduk di bawah pohon gede nunggu kesurupan. Kalau bisa, cari temen yang lain. Karin itu orang aneh!”
Dan untuk kedua kalinya, dahi lapang Nanda mendapatkan jentikan dari jari lentik Karin.
“Sakit kambing!”
***
“Hanan pulang.” Hanan memasuki pintu rumah terlebih dahulu. Disusul dengan Nanda yang tampak loyo di belakangnya.
“Wah, Hanan sini! Mama bikin kue, sini cobain dulu! Dan ... Nanda, kamu main nyelonong aja!” seru sang mama yang melihat putrinya sedang meraih pintu kamarnya.
Nanda tersenyum dan menatap mamanya. “Selamat Sore mama cantik. Wah, mama keliatan lebih cerah sekarang? Tadi pasti begituan sama ayah, ya?”
“Sembarangan aja ni bocah kambing! Bapakmu sudah di makam!” Sang Mama berkacak pinggang, berjalan cepat dan siap memukul Nanda dengan centong nasinya.
“Ampun, Mak! Nanda lupa!” Nanda langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
Sementara sang mama meregangkan tangannya yang memegang ganggang pintu. Cukup lama ia terdiam, sebelum akhirnya dia berbalik dan tersenyum ke arah Hanan yang sedang duduk di meja makan.
“Hanan, tadi gimana sekolahnya? Ada masalah?”
“Nggak ada Mama Nia.”
Nania mengangguk-angguk, ia melihat ke arah Hanan yang terdiam menatap meja kosong. Nania langsung menepuk dahinya. “Astaga! Sebentar ya, mama ambilin dulu kuenya!”