"Bunda ngapain sih ngizinin Wildan masuk ke kamar kakak?" protes ku. Aku menatap Bunda yang tengah mengoleskan selai coklat di atas roti tawar untukku.
"Bunda kan tahu, kakak paling nggak suka ada orang asing, apalagi sampai masuk-masuk kamar sembarangan begitu," kesalku.
"Kan Wildan masuknya bareng sama Chiwa, Kak," sahut bunda pelan kemudian menyerahkan roti yang sudah di olesi selai coklat kepadaku.
"Iya, kalau nggak di bangunin mungkin kakak nggak bakalan bangun, tidur sampai pagi, mana belum mandi lagi," sambung Chiwa sambil terkekeh yang mendapat anggukan setuju dari bunda.
"Lagian Wildan bukan orang lain, Kak. Dia itu anak sahabatnya Bunda," ucap bunda menimpali.
Aku tidak setuju, kalaupun bunda sahabatan dengan mamanya Wildan, bukan berarti Wildan bisa seenaknya, kan?
"Sahabat bunda itu mamanya bukan anaknya, tetap aja anaknya orang asing," balasku berusaha memperjelas pendapatku.
Ayah terkekeh mendengar protesku, entah dimana letak lucunya. "Udah, di habisin itu sarapannya, nanti telat loh," ucapnya sambil mengelus rambutku mencoba menengahi perdebatan kami.
_____
"Bel masuk udah berbunyi dari dua menit yang lalu!" gerutuku sambil melirik jam tangan. Wildan, yang menyetir, masih santai saja.
"Bisa lebih cepat nggak sih? Kalau nggak bisa biar aku aja yang nyetir sini," omelku lagi. Kesabaranku sudah menipis. Entah sudah berapa kali aku mengatakan kalimat yang sama, biar saja dia kesal karena aku terus ngomel sejak tadi. Biar kapok dia berangkat sekolah bareng denganku.
Bukannya mempercepat, Wildan malah cengengesan tidak jelas, kemudian berkata, "Santai dong, Ra. Kalau gerbang udah tutup, kita bisa ganti tujuan, hm ... jalan-jalan misalnya."
Kalimat terakhirnya membuatku langsung naik pitam, "Kalau mau bolos, bolos sendiri sana! Lain kali nggak usah jemput aku lagi!" ketusku.
Setelah mengatakan kalimat terakhir itu, Wildan baru mau menambah kecepatannya.
Akhirnya, sampai juga. Sialnya, gerbang sekolah di jaga oleh beberapa anggota OSIS. Aku langsung berdecak kesal, tapi seketika senyum mengembang di bibirku saat melihat salah satu anggota yang berjaga di gerbang adalah Aldi. Itu artinya aku aman.
Aku buru-buru turun. Sebelum turun, aku melirik Wildan sejenak, "Mau bolos kan? Yaudah sana, hati-hati!" ucapku lalu turun dari mobil Wildan dan berlari menghampiri Aldi.
_____
Bel istirahat berbunyi menandakan waktu bebas bagi para siswa. Semua murid langsung bersemangat berhamburan keluar kelas, kecuali Nadia. Tumben sekali dia masih duduk manis di kursinya, seolah terpaku. Selama jam pelajaran berlangsung, Nadia juga kelihatan kurang bersemangat, beda dari biasanya.
"Nad?" panggilku membuatnya langsung menoleh.
"Iya?" jawabnya pelan, suaranya sedikit lesu.
"Kamu oke, kan?" tanyaku sedikit khawatir. Nadia menghela nafasnya perlahan seolah menyimpan sebuah beban.
"Oke kok, Ra," jawabnya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Kemudian bergumam, "Tapi Wildan kok nggak masuk ya, Ra?" tanyanya membuatku terkejut.
Aku ikut mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Aku baru sadar Wildan memang belum masuk semenjak jam pelajaran pertama dimulai.
"Tadi orangnya ada, Nad. Mungkin sekarang lagi dihukum karena telat, nanti juga bakalan masuk," ujarku mencoba menenangkannya.
"Kamu beneran suka sama dia?" tanyaku memastikan apa yang kupikirkan benar adanya.
"Iya, Ra," jawabnya sambil tertawa malu-malu. Kemudian melanjutkan, "Gue bahkan suka sama dia semenjak pertama kali dia memperkenalkan dirinya didepan kelas kita." Raut wajah Nadia benar-benar berbinar saat mengatakan itu.
Sebuah rasa yang aneh tiba-tiba aku rasakan setelah mendengar Nadia mengatakan hal itu, seperti senang, atau mendapatkan kabar baik yang selama ini aku tunggu-tunggu. Aneh sekali.
"Tapi kan, Wildan sukanya sama lo, Ra," ucap Nadia lagi, dari nada bicaranya, aku tahu dia sedang kecewa.
Aku langsung menentang perkataan Nadia, "Bukan, Nad, dia itu cuman iseng doang," jawabku membuat Nadia kembali mendongak.