Babad Tanah Majapahit

Ma'arif
Chapter #6

Pertemuan Raden Wijaya dan Banyak Widya

Tampak Banyak Widya sudah semakin jauh menelusuri tepian hutan untuk mencari keberadaan sebuah desa yang telah di gambarkan prajuritnya.

Menjelang senja, Banyak Widya akhirnya sampai di pintu gerbang tapal batas sebuah desa yang terletak di sebuah lembah. Ia lalu menyapu pandangannya keseluruh penjuru. Tampak perbukitan dari kejauhan mengelilingi desa tersebut bak benteng pertahanan.

"Bukit di seberang sana, sepertinya bukit tempat perkemahan kemarin. Saya yakin ini adalah desa yang di maksud prajuritku," gumam Banyak Widya.

Perlahan Banyak Widya memacu kudanya sambil menggandeng kuda milik Raden Wijaya memasuki jalanan desa tersebut.

"Saya harus menemui Demang di desa ini terlebih dahulu, untuk untuk mencari informasi kalau-kalau Raden Wijaya berada di sini," batin Banyak Widya.

Setelah memasuki pertengahan desa, Banyak Widya melihat suasana desa yang asri dengan panorama persawahan di kanan dan kiri jalan.

Tak berapa lama Banyak Widya berhenti di sebuah rumah makan yang ia temui pertama kali.

"Permisi, Ki! Apakah boleh saya menumpang bertanya?" ucap Banyak Widya ketika sudah memasuki rumah makan dan bertemu dengan seseorang yang sedang di dalam.

" Oo, silahkan, Kisanak, adakah yang bisa saya bantu?" ucap seorang pria tua sambil berdiri setelah melihat kedatangan Banyak Widya.

"Bolehkah saya di tunjukkan di manakah rumah demang perkampungan ini, Ki?" tanya Banyak Widya.

"Ooo, boleh, nanti Kisanak jalan lurus saja. Kemudian, jika mendapati perempatan jalan, Kisanak belok kanan saja. Nanti ada sebuah rumah besar di depan ada sebuah pendopo. Itulah rumah Ki Demang," terang pria tua tersebut.

"Terimakasih banyak atas keterangannya, Ki, jika begitu saya mohon diri ya Ki," ucap Banyak Widya.

Kemudian Banyak Widya langsung memacu kedua kudanya menuju arah yang di tunjukkan oleh pria tua tadi untuk mencari rumah Demang desa di lembah asing tersebut.

****

"Darma santika," sapa Raden Wijaya, setelah mereka berdua duduk di beranda rumah sehabis latihan berjalan dan berlari sore hari bersama Darma Santika.

"Hamba, Raden!" jawab Darma Santika.

"Besok jika keadaan saya sudah pulih kembali, lusa, saya akan kembali ke perkemahan, mereka sekarang pasti sedang khawatir dengan keadaan saya," ucap Raden Wijaya.

"Baiklah Raden, nanti hamba akan mengawal Raden sampai ke tempat perkemahan. Hamba khawatir nanti terjadi apa-apa sama Raden diperjalanan jika sendirian," ucap Darma Santika.

"Terimakasih banyak Darma Santika, engkau memang pemuda yang sangat bertanggung jawab dan berbudi luhur, disamping itu, engkau memiliki ilmu kanuragan yang handal. Saya memperhatikan engkau saat latihan. Jiwamu seperti layaknya jiwa seorang ksatria sejati. Sangat layak jika engkau menjadi seorang ksatria," ucap Raden Wijaya.

"Duh, jangan berlebihan Raden, hamba hanya pemuda desa yang jadi petani. Tidak mungkin menjadi seorang ksatria seperti Raden," ucap Darma Santika.

"Engkau bukan pemuda desa biasa. Dalam darahmu pasti mengalir darah seorang ksatria. Mungkin dari kakek moyangmu terdahulu. Saya yakin kakek moyangmu terdahulu adalah seorang ksatria," jawab Raden Wijaya.

"Hamba kurang tahu persis soal silsilah nenek moyang hamba. Cuma menurut cerita, perkampungan ini dahulu yang membuka pertama kali adalah buyut dari buyut kakek saya. Tapi hamba tidak begitu paham. Itu cerita dari mulut ke mulut sebagai dongeng bagi warga kampung yang ingin tahu asal muasal keberadaan desa ini," cerita Darma Santika.

"Nah! Saya percaya cerita itu Darma. Dari pembawaan dirimu, sikapmu dan tanggung jawabmu sepertinya benar bahwa moyangmu terdahulu adalah pendiri desa ini dan beliau pasti bukan orang sembarangan dan pasti pernah memiliki kedudukan tinggi di masyarakat dan engkau menuruninya sebagai pewarisnya. Saya yakin kelak engkau juga akan menjadi salah satu penggerak suatu perubahan peradaban baru," ucap Raden Wijaya.

"Ah, tidak mungkin, Raden, hamba hanya pemuda kampung yang tidak memiliki pendidikan layak. Tidak seperti Raden yang dari kecil mendapat pendidikan," ucap Darma Santika.

"Lihatlah nanti, apa yang saya katakan Darma Santika," ucap Raden Wijaya sambil menepuk-nepuk pundak Darma Santika penuh bangga.

*****

Banyak Widya turun dari kudanya setelah memasuki pintu gerbang rumah besar yang ada pendopo di depannya. 

Kemudian menambatkan kedua kudanya di pohon yang berada di halaman pendopo.

Tampak seorang pemuda tegap menghampiri Banyak Widya.

Lihat selengkapnya