Undangan nikah datang lagi.
Kali ini dari Wira—temen SMA yang terakhir kali aku temui pas dia lagi nangis karena ditinggal pacarnya yang ternyata pindah sekolah... sama guru fisika.
Sejak saat itu, dia bilang: "Gue nggak bakal percaya lagi sama cinta."
Ya, standar lah. Lima tahun kemudian, dia ngundang aku ke nikahannya.
Undangannya tebal, warna krem emas, ada inisial pasangan ditulis pakai font yang biasanya dipakai buat kartu ucapan Natal di mal-mal elit.
Dan yang paling menyakitkan:
"Untuk: Nara & Pasangan"
Pasangannya nggak dikasih, ya salah sendiri.
Waktu pertama kali nerima undangan ini, aku diem cukup lama.
Bukan karena kaget. Tapi karena lagi nyari kunci pintu kamar sambil megang pop mie, hp, dan helm—jadi butuh waktu buat baca tulisan di amplop. Tapi pas udah sempet lihat dengan tenang, ada rasa nyesek yang halus tapi nancep:
Kenapa sih tiap undangan harus selalu asumsikan kita udah berdua?
Maksudku, gimana ya. Emang sih, ada kemungkinan aku sudah punya pasangan—cuma dia... lagi main di semesta paralel, mungkin.
Tapi ini udah undangan ke-5 dalam dua bulan terakhir.
Bahkan grup SMA yang udah kayak fosil digital pun tiba-tiba hidup lagi cuma buat satu tujuan: share link map lokasi nikahan.
"Eh guys, yang deket daerah BSD, bisa nebeng nggak?"
"Dresscode-nya semi formal, ya!"
"Jangan lupa bawa kado 😁"
Dan aku?
Cuma bisa ngetik "Wkwkwk mantap bro" sambil makan keripik di kamar sendiri.
Saking seringnya dapet undangan, sekarang aku udah punya kategori sendiri:
Undangan dari teman dekat:
Yang bikin kamu mikir, "Wah... ternyata dia masih inget aku."
Tapi setelah pesta selesai, hilang lagi kayak uap semur jengkol.
Undangan dari teman yang udah lupa mukamu:
Biasanya diajak karena panitianya butuh orang buat meramaikan dokumentasi.
Undangan dari mantan (atau hampir mantan):
Ini bukan undangan. Ini ujian hidup.
Aku pernah datang ke nikahan mantan.
Nggak usah tanya kenapa, pokoknya aku bodoh.
Tapi ya... itu hari di mana aku sadar:
Ternyata senyum sambil makan puding cup itu sulit banget kalau hatimu lagi sobek kayak spanduk bekas kampanye.
Belum lama ini, aku dapet undangan dari temen kuliah—namanya Rani.
Dulu kita sempet PDKT, tapi nggak pernah jadian. Katanya, "Aku butuh waktu."
Ternyata, yang dia maksud tuh cuma butuh waktu... buat ketemu cowok lain yang bisa nyetir mobil manual dan punya masa depan.
Begitu buka undangannya, aku diem beberapa detik, terus bisik ke diri sendiri:
"Yaudah, siapa suruh dulu lo cuma bisa nganter naik motor sambil hujan-hujanan."
Sampai sekarang aku heran, kenapa orang-orang pada ngerasa perlu ngirimin undangan fisik?
Apa nggak cukup ya kirim PDF dan emoji love?
Atau mungkin mereka tahu, makin tebal undangan = makin dalam luka?
Yang jelas, setiap kali aku buka amplop undangan sekarang, reaksi pertamaku bukan lagi "Wah, ikut seneng"—tapi lebih kayak:
"Yah, akhir bulan gue harus beli batik baru lagi nih."
Tapi yang paling lucu (atau sedih, tergantung mood), adalah:
Nggak ada satu pun yang pernah nanya dulu:
"Nar, kamu lagi punya pasangan nggak sekarang?"
"Kamu nyaman nggak kalau dateng sendirian?"
"Atau kamu lebih suka jaga rumah sambil nonton anime dan makan roti sobek?"
Nggak ada. Semua langsung kirim undangan, seolah hidup ini harus dijalani berdua.
Padahal kadang...
Sebagian dari kita masih nyaman sendiri.
Sebagian lagi... nyaman di kamar, sambil nyari alasan buat nggak datang.
"Maaf ya, lagi ada kerjaan dadakan."
"Duh, bentrok sama acara keluarga."
"Wah, bentar... ada konser virtual YouTube."
Yah, apa aja lah. Yang penting nggak perlu duduk sendirian di antara meja-meja bundar penuh pasangan.
Dan nggak perlu jawab pertanyaan kayak:
"Datengnya sendiri, Mas?"
Iya, Bu. Sendiri. Tapi pulangnya bareng.
Bareng rasa lega karena akhirnya bisa cabut.
Tapi tetap aja, ada satu hal yang bikin aku nggak pernah benar-benar bisa menolak undangan pernikahan.
Yaitu... kue.
Iya, kue.