Kosku kecil, tapi cukup.
Kasur, kipas angin, gantungan baju yang bunyinya berisik tiap malam kalau kena angin.
Ada meja kerja yang udah agak doyong, lemari kayu bekas indekos sebelumnya, dan satu bantal ekstra di sisi kanan kasur.
Dan dari semua benda di kamar ini, yang paling setia... adalah bantal itu.
Dia nggak pernah geser. Nggak pernah jatuh. Nggak pernah dipakai siapa-siapa.
Dia cuma... diam. Ada. Di situ-situ aja.
Pernah suatu malam, aku pulang larut.
Capek. Banyak pikiran. Laptop di tas kayaknya berat bukan karena isinya, tapi karena beban hidup.
Begitu buka pintu, lampu nyala, kasur terlihat seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang... aneh.
Bantal itu.
Masih di posisi yang sama.
Nggak bergerak barang sejengkal.
Dan entah kenapa, malam itu aku ngelihatin dia agak lama.
Kayak orang yang baru sadar sesuatu.
Aku duduk di ujung kasur, terus mikir,
"Kenapa kosong di sini?"
Awalnya cuma lelucon internal.
Aku sering bercanda ke temen-temen:
"Yah, sebelah kiri kasur ini buat jodoh yang masih nyasar."
Tapi makin ke sini, lelucon itu mulai terasa kayak... peringatan.
Peringatan dari siapa? Nggak tahu. Bisa jadi dari diri sendiri.
Bantal itu kayak simbol kecil dari ruang yang belum pernah terisi.
Tempat yang selalu aku sisakan—baik secara harfiah maupun hati.
Lucu sih.
Orang lain nyisain tempat buat barang-barang. Aku nyisain tempat buat seseorang yang bahkan nggak tahu arah ke sini.
Dan yang lebih lucu lagi, aku tetap rapihin bantal itu setiap pagi.
Disemprot pakai pewangi, diluruskan, dipukul-pukul biar empuk lagi.
Padahal nggak ada siapa-siapa yang bakal pakai.
Mungkin ini bentuk kesiapan yang absurd.
Atau mungkin aku cuma suka ilusi bahwa suatu hari, akan ada yang datang.
Tidur di sebelah.
Ngobrol sebelum tidur.
Rebutan selimut.
Atau cuma sekadar... napas berirama di sampingku.
Tapi sampai hari ini, yang napas di kasur itu ya cuma aku.
Dan kadang-kadang sih, kecoa kecil yang lewat.
Pernah ada satu malam di mana aku pura-pura ngerasain ada orang di sebelah.
Bukan karena kerasukan. Tapi karena... pengin tahu aja gimana rasanya tidur sambil bilang, "Selamat tidur, ya."
Aku beneran nyoba.
Matiin lampu, rebahan, terus nengok ke kanan dan bisik:
"Makasih ya udah nemenin hari ini."
Lalu aku ketawa sendiri.
Gila sih.
Tapi tenang, aku masih waras.
Cuma... mungkin agak terlalu terbiasa sendiri.
Aku pernah deket sama seseorang. Lama.
Obrolannya nyambung. Tertawanya enak.
Tiap malam kita telepon, tukeran cerita, bahas masa depan.
Sampai suatu hari, dia bilang:
"Aku takut kamu terlalu nyaman sendirian."
Dan kalimat itu aneh banget.
Aku sempat mikir, emangnya kenapa kalau aku nyaman sendiri?
Apa itu salah?
Bukankah seharusnya, seseorang yang hadir itu justru memperkuat kenyamanan, bukan malah merasa tersaingi?
Tapi dia tetap pergi. Katanya dia butuh pasangan yang... butuh.
Dan aku? Aku masih di sini. Sama bantal di sebelah kanan.
Setelah itu, aku jadi makin mikir.
Mungkin bantal itu bukan cuma kosong secara fisik.
Tapi dia juga cerminan ruang di hidupku yang belum bisa diisi orang lain.
Atau mungkin... belum boleh.
Bukan karena trauma. Bukan karena gagal move on.
Tapi karena aku belum nemu seseorang yang bisa duduk di sebelahku tanpa bikin aku merasa sendirian dalam keramaian.
Waktu kecil, aku suka denger orang tua bilang:
"Hidup itu kayak tidur. Kalau ada yang nemenin, lebih hangat."
Tapi makin dewasa, aku sadar:
"Nggak semua yang nemenin itu bikin hangat. Ada juga yang bikin pegal, rebutan bantal, dan tidur nggak nyenyak."
Jadi sekarang aku memilih.
Kalau belum bisa tidur nyenyak bareng, ya mending tidur sendiri dulu.
Setidaknya, bantal di sebelah kanan nggak pernah ngorok.
Tiap malam, aku masih lihat ke arah itu.
Kadang cuma sekilas. Kadang agak lama.
Dan pertanyaan itu muncul lagi:
"Kenapa kosong di sini?"
Mungkin karena aku masih belajar.
Belajar ngisi hidupku sendiri dulu.
Biar nanti, kalau seseorang datang... aku nggak cuma nyediain tempat, tapi juga hati yang cukup lapang.