Kalau ada satu hal yang bikin aku deg-degan tiap musim kumpul keluarga atau lebaran... itu bukan makanan yang belum mateng, bukan juga ketemu mantan yang kebetulan masih temenan sama sepupu jauh.
Yang paling serem itu: ibu-ibu.
Mereka bukan cuma manusia.
Mereka agen interogasi berkedok keramahtamahan.
Datangnya tiba-tiba, nyerangnya halus, dan kalimat pembukanya hampir selalu sama:
"Eh, Naraaa... sekarang ngapain aja?"
Itu kedengarannya basa-basi, ya?
Tapi itu cuma pemanasan. Itu kayak penari sumo yang nunduk sebelum nyeruduk.
Kalau kamu jawab,
"Masih kerja biasa, Tante."
Mereka akan lanjut:
"Ooh, kerja. Bagus... bagus...
Tapi kapan nyusul?"
DAN DI SITU JANTUNG SAYA SEPERTI DILAMBAI-LAMBAIKAN.
Aku nggak ngerti kenapa urusan pribadi yang sangat personal bisa jadi obrolan umum di ruang tamu orang lain.
Aku duduk sambil megang lapis legit, udah tenang-tenang, lalu dari samping muncul serangan:
"Tuh si Cici udah punya anak dua loh. Kamu kapan?"
Aku sempat kepikiran buat jawab,
"Mungkin setelah Cici punya anak ketiga, biar adil."
Tapi aku masih punya sopan santun dan warisan martabat keluarga.
Jadi aku cuma senyum, lalu pelan-pelan makan kuenya sampai mulut penuh dan nggak bisa jawab apa-apa.
Strategi ini kupatenkan dengan nama: "Taktik Lapis Legit."
Mulut sibuk, hati tenang, bibir nggak bisa dijadikan target.
Tapi kadang mereka pintar.
Mereka sabar.
Mereka tahu kita lagi nyari alasan buat kabur. Jadi mereka ngikutin.
Ke dapur.
Ke halaman.
Mereka bisa nyusul sampai tempat isi ulang galon cuma buat nanya:
"Itu kamu sama temen kamu yang cewek kemarin, udah serius belum?"
APA URUSANNYA DENGAN ISI ULANG GALON, TANTE?
Yang bikin pusing bukan pertanyaannya. Tapi karena mereka nanya sambil senyum.
"Hehehe, tante kepo dikit nggak apa-apa ya..."
Kepo dikit? Tante, ini investigasi!
Tiap tahun aku harus siapin jawaban baru, karena kalau ngulang dari tahun lalu, mereka bakal bilang:
"Lho? Katanya tahun kemarin lagi PDKT?"
Iya Tante, tapi yang itu ternyata hobi baca horoscope buat nentuin tanggal jadian.
Aku bahkan sempat bikin daftar jawaban cadangan, biar bisa ganti-ganti tergantung lawan bicara:
Versi formal:
"Saya lagi fokus kerja, Tante."
Versi religius:
"Saya percaya semua ada waktunya, Tante. Yang penting yakin."
Versi filosofis:
"Kadang dalam hidup kita bukan soal siapa yang datang, tapi siapa yang nggak bikin kita pengen kabur."
Versi absurd:
"Saya mau nikah sama alien aja, Tante. Biar bisa tinggal di Mars."
Yang versi terakhir pernah kupakai pas udah bener-bener mentok dan laper.
Tapi anehnya, semakin sering aku ditanya, semakin aku... terbiasa.
Kayak badan yang akhirnya kebal karena tiap tahun disuntik vaksin sosial.
Dan jujur, sekarang aku malah suka mikir jawabannya duluan sebelum ditanya.
Kadang aku nyusun skenario di kepala sambil mandi, kayak:
"Kalau nanti ditanya Tante Agnes, aku jawabnya apa ya?
Oh, bilang aja lagi coba fokus sama healing dan membangun personal branding."
Nggak penting. Tapi lucu.
Dan kadang itu yang bikin aku bisa bertahan. Ngejawab serius bikin capek. Tapi kalau dibikin lucu, kita yang menang.
Kadang aku bayangin, gimana kalau pertanyaan-pertanyaan kayak gitu ditranskrip dan dibacain ulang dalam bentuk sidang.
Ketua Majelis Interogasi: "Saudara Nara, sejak usia 25 hingga 34, Anda belum menunjukkan progres signifikan dalam bidang asmara. Tanggapan Anda?"
Aku: "Saya... fokus sama self-growth, Yang Mulia."
"Self-growth Anda mana buktinya? Tanaman di depan rumah aja udah tumbuh dua meter."
Dan semua orang di ruangan tepuk tangan sambil makan kacang kulit.
Yang bikin lucu (atau sedih, tergantung mood), adalah...
mereka nggak pernah puas dengan jawaban yang biasa aja.
Kalau kamu jawab:
"Belum nemu yang cocok."
Mereka akan nimpalin dengan teori konspirasi ala ibu-ibu:
"Jodoh itu dicari, bukan ditunggu."
"Jangan terlalu milih."
"Jangan kebanyakan mikir."
Seolah hidup ini kayak ambil lauk di warteg.
Kalau kelamaan milih, tinggal disorakin:
"Yang itu aja, Dek! Enak kok, walau agak alot!"
Suatu kali, aku duduk manis sambil nyicipin kue nastar, lalu datang satu tante yang aku nggak terlalu kenal—mungkin sepupu ibunya tetanggaku. Dia senyum ramah, terus nanya:
"Nara, kamu tuh ganteng loh, kenapa masih sendiri?"
Aku bingung. Ini pujian atau serangan?
Tapi ya udahlah, aku senyum aja, terus jawab:
"Karena yang ngelihat saya ganteng cuma Tante."