Aku tuh selalu bingung tiap dapet undangan nikah.
Bukan karena nggak punya baju batik.
Bukan juga karena nggak ngerti jalan ke venue.
Tapi karena... aku belum pernah dateng ke pernikahan tanpa mikir,
"Kok aku kayak penonton tambahan, ya?"
Dan minggu lalu, undangan itu datang lagi.
Dari temen kuliah—yang dulunya cuek, sekarang jadi manusia paling romantis seantero Instagram.
Foto undangannya manis banget: mereka saling tatap di tengah ilalang, senyum-senyum malu-malu kayak abis dibisikin kode rekening.
Aku datang dengan pakaian terbaik yang aku punya: kemeja biru navy, celana panjang hitam, dan sepatu yang udah nggak berderit.
Setelah semua perjuangan itu, begitu sampai di lokasi, hal pertama yang terjadi adalah...
Aku nyasar.
Venue-nya di gedung yang punya 3 acara nikahan sekaligus.
Tiga ballroom. Tiga pintu. Tiga keluarga besar.
Semuanya pakai nama yang hampir mirip:
Aula Mawar, Aula Melati, Aula Meranti.
AKU BUKAN DETEKTIF, MENGAPA HARUS MEMECAHKAN MISTERI NAMA-NAMA BUNGA INI?
Aku tanya ke petugas parkir.
Dia bilang, "Yang cowoknya pakai jas abu-abu, kan?"
Aku jawab, "Mungkin? Aku nggak tau dia beli jas warna apa."
Akhirnya aku nekat masuk aula pertama.
Baru tiga langkah, satu ibu-ibu udah melotot dan bisik ke sebelahnya:
"Itu siapa ya?"
AKU TAU AKU SALAH TEMPAT, BU.
Aku mundur pelan-pelan kayak ninja gagal misi.
Setelah dua kali salah aula dan satu kali kejebak sesi foto keluarga orang, aku akhirnya sampai di aula yang benar.
Dan di sana...
suasananya seperti dunia paralel:
Penuh senyum, penuh bunga, penuh temen lama yang sekarang udah bawa pasangan.
Aku berdiri sendiri. Sambil pegang souvenir dan berpura-pura sibuk baca rundown acara.
Padahal yang aku lihat cuma tulisan:
"Tamu dipersilakan menikmati hidangan."
AKU MAU, TAPI TAKUT DUDUKNYA KESELEO EMOSI.
Tapi yaudahlah.
Aku ikut barisan antre makanan. Nasi kebuli, sate ayam, es krim, dan satu jenis salad yang nggak ada yang nyentuh.
Aku makan sambil berdiri. Di dekat pohon dekorasi plastik.
Tiba-tiba ada temen lama nyapa,
"Eh, Nara! Dateng juga! Sama siapa?"
Aku jawab santai,
"Sama Tuhan, seperti biasa."
Dia ketawa, lalu pelan-pelan minggir sambil gandeng pacarnya yang lagi ngunyah lontong cap gomeh.
Dan aku balik lagi ke piringku.
Nasi kebuli itu enak. Tapi kenapa makin lama rasanya kayak pertanyaan eksistensial?
Setelah habis dua tusuk sate dan satu cup es krim yang meleleh setengah karena aku terlalu lama mikir soal salad yang nggak laku itu, aku berdiri di pojokan aula.
Nggak ada yang ngajak ngobrol, dan jujur aku juga nggak mau kelihatan terlalu antusias, takut dikira MC pengganti.
Aku mulai mengamati tamu-tamu yang datang.
Ada yang gayanya kayak baru keluar dari Pinterest.
Ada yang sibuk selfie sama backdrop bunga.
Ada juga yang—ini favoritku—datang, salaman, ambil makanan, lalu langsung pulang.
Efisien. Tanpa basa-basi. Filosofi hidup yang harusnya diajarkan di sekolah.
Tapi di tengah-tengah itu semua, aku lihat satu sosok.
Seorang cowok. Sendirian. Duduk di meja bundar yang kapasitasnya delapan orang.
Tujuh kursi lain kosong.
Di depannya ada sepiring nasi kuning dan segelas es sirup merah.
Dia makan pelan-pelan, sambil mainin sendoknya kayak lagi nunggu inspirasi hidup.
Aku langsung ngerasa ada getaran batin.
"Kamu juga ya, Bro?"
Kita sempat saling pandang. Nggak lama. Cuma sekilas.
Tapi cukup buat ngirim sinyal antar spesies yang sama:
Kaum Undangan Tanpa Pendamping.
Aku pengen nyamperin. Tapi kayaknya nggak sopan buat gabung ke meja orang yang udah lebih dulu claim "zona sunyi".
Dan anehnya, dia kayak ngerti.
Dia angkat gelas sirupnya ke arahku. Sedikit. Tanpa senyum.
Kayak mau bilang,
"Kita nggak sendiri dalam kesendirian ini."
Aku bales anggukan. Lalu balik lagi ke posisi berdiri sambil nyuap sisa nasi yang udah mulai dingin.
Entah kenapa, rasanya jadi lebih enak.
Tiba-tiba MC acara mulai ngomong:
"Kita panggil kedua mempelai ke tengah panggung... untuk prosesi lempar bunga!"
Aku langsung siap-siap gerak. Bukan buat ikutan.
Tapi buat mundur strategis.
Karena berdasarkan pengalaman, ini saat paling berbahaya buat yang masih jomblo:
selalu ada risiko tiba-tiba disuruh maju ke depan.
Dan benar aja, MC-nya ngomong lagi:
"Yang masih single, ayo merapat ke depan panggung!"
AKU LANGSUNG MASUK KE BELAKANG TIRAI DEKORASI.
Kalau bisa nyamar jadi standing flower, aku udah lakukan.
Dari jauh aku lihat si cowok tadi juga udah nggak di mejanya.
Aku yakin... dia juga tahu taktik penyelamatan ini.
Dan itulah momen paling damai dalam acara nikah malam itu:
dua orang asing, satu takdir.
Bukan saling mendekat, tapi sama-sama paham cara bertahan.
Awalnya aku kira kami berdua udah selamat.
Aku di balik tirai bunga plastik, dia entah di mana—mungkin sembunyi di dekat standing AC atau pura-pura jadi fotografer freelance.
Tapi semesta kadang lucu.
Atau kejam. Tergantung mood.
Karena dari sekian banyak tamu, dari sekian banyak yang clearly pengen ikutan lempar bunga itu,
si cowok itu...
yang justru dapat bunganya.
Iya, bunga dilempar—dan dia yang kena.
Langsung. Tepat di dada. Kayak tembakan nasib.