Babi Bujang

Nara Senandika
Chapter #8

Bab 7 - Tangan Kosong di Samping Tiket Couple

Jadi ceritanya begini:

Hari itu aku bangun dengan niat suci—menyendiri.

Setelah seminggu penuh acara sosial, tanya-jawab pernikahan, dilempar bunga, dan disangka panitia oleh orang tak dikenal, aku butuh ruang.

Ruang yang tenang. Gelap. Dingin.

Dan satu-satunya tempat yang langsung terlintas di otak adalah: bioskop.

Aku pengen nonton film yang udah seminggu tayang. Film tentang penyendiri juga. Katanya ceritanya menyentuh, karakter utamanya banyak diem dan senang duduk di tempat sepi.

"Akhirnya," pikirku. "Akhirnya ada tokoh utama yang aku mengerti."

Aku pesan tiket lewat aplikasi.

Tapi tentu saja...

hidup tidak akan membiarkanku menikmati apapun tanpa plot twist kecil.

Semua kursi biasa penuh.

Yang tersisa?

Kursi couple. Pojok kiri belakang.

Awalnya aku ragu.

Tapi rasa penasaran lebih kuat.

"Yaudah lah. Apa susahnya nonton sendirian di kursi couple?"

Ternyata... susah, Bro.

Susah banget.

Begitu masuk studio, suasananya remang dan sejuk. Bau popcorn, AC dingin, suara promo minuman soda dari layar.

Aku jalan pelan ke barisan belakang.

Dan pas aku sampai di kursiku, jantungku deg-degan bukan karena filmnya, tapi karena sadar: kursi sebelah kosong... dan akan tetap kosong.

Aku duduk, dan langsung terasa aura aneh dari kanan-kiriku.

Pasang-pasangan di kursi couple lain saling sandar, saling bisik-bisik, saling rebutan selimut kecil.

Sementara aku? Duduk tegak.

Tangan di paha. Bahu menggantung.

Kanan kosong. Kiri, isi. Tapi bukan cinta—cuma harapan tipis kalau mungkin orang di sebelah bakal bilang:

"Mas... sendirian ya? Aku juga."

TAPI TIDAK.

Yang di sebelah malah makin merapat ke pasangannya.

Mungkin takut aku menulari aura kesendirian.

Sepuluh menit pertama film dimulai.

Tapi mataku nggak fokus.

Aku sibuk mikir posisi tangan yang tepat.

Karena sandaran tangan di kursi couple itu cuma satu.

Dan aku punya satu tangan... yang menganggur.

Kalau kutaruh di tengah, takut dikira ngajak berantem.

Kalau kutaruh di pangkuan, pegal.

Kalau kupeluk sendiri... ya Tuhan, itu udah terlalu jujur.

Akhirnya aku sandarkan ke tas kecilku.

Tas itu jadi pengganti pasangan.

Setidaknya dia nggak protes waktu kugenggam.

Dan di saat itu aku sadar:

Bioskop bisa jadi tempat paling romantis atau paling reflektif tergantung posisi duduk... dan posisi hati.

Filmnya mulai masuk ke adegan emosional.

Tokoh utama duduk di bangku taman sambil menatap langit. Musiknya sendu, warnanya redup.

Di sebelahku, pasangan couple sudah mulai saling genggam tangan.

Dan aku...

genggam remotenya kursi reclining sambil nyari posisi paling netral.

Yang nggak terlalu santai, tapi juga nggak terlihat seperti... pasrah.

Karena yang paling bahaya dari bioskop dengan kursi couple adalah ilusi kemesraan yang otomatis.

Kursi itu memang didesain untuk dua orang yang ingin lebih dekat.

Tapi kalau kamu datang sendirian?

Kursi itu jadi pengingat bahwa jarak bisa lebih dingin dari AC ruangan.

Dan ternyata... aku bukan satu-satunya korban malam itu.

Beberapa baris di depan, aku lihat seorang bapak-bapak juga duduk sendiri di kursi couple.

Dia kelihatan santai, bahkan sempat buka HP buat nyatet nama aktor di layar.

Tapi... entah kenapa, dari gestur tubuhnya, aku tahu:

dia juga merasa canggung.

Karena dia terus-terusan mengatur posisi duduk, narik kerah bajunya, dan menghindari kontak mata dengan siapa pun.

Kami bertiga—aku, bapak itu, dan tas selempangku—seolah jadi kelompok diam di tengah lautan pelukan dan bisikan mesra.

Tapi momen paling tidak terduga adalah ketika seorang anak kecil—mungkin sekitar enam tahun—berlari dari kursi depan, lalu berhenti di baris kami dan menunjukku sambil teriak:

"Ma! Itu Om-nya nonton sendirian, kasian!"

SATU STUDIO HENING.

Satu detik, dua detik, lalu terdengar tawa tertahan dari barisan samping kanan.

Aku cuma bisa senyum. Kaku.

Lalu melambai pelan ke anak itu kayak tokoh figuran di acara ulang tahun.

Ibunya langsung narik anaknya dan bisik:

"Jangan ngomong sembarangan, Nak!"

Tapi kerusakan sudah terjadi.

Kini semua orang tahu:

ada yang nonton sendiri di kursi couple, dan dia adalah aku.

Seorang pria berusia 30-an, dengan hoodie hitam dan raut wajah yang sudah berdamai dengan nasib.

Aku menarik napas. Lalu berkata dalam hati:

"Tenang, Nara. Kamu bukan sendiri. Kamu cuma... sendirian bersama dirimu."

Dan dengan itu, aku kembali fokus ke layar.

Tokoh utamanya kini menangis.

Dan di saat itulah...

mataku juga berkaca-kaca. Tapi bukan karena adegannya menyentuh.

Tapi karena AC-nya langsung nembak tepat ke muka.

Setelah insiden "Om-nya nonton sendirian, kasian" itu, aku mulai lebih waspada.

Setiap gerakanku terasa diawasi.

Padahal mungkin cuma perasaanku aja.

Tapi tetap aja, aku jadi lebih hati-hati.

Lihat selengkapnya