Ada satu kalimat yang sering banget kudengar, entah dari temen lama, tante di acara keluarga, atau ibu-ibu random di minimarket:
"Kamu nggak kesepian, Nar?"
Dan biasanya aku senyum.
Senyum yang artinya: "Aku udah jawab ini ribuan kali dan tetap nggak percaya."
Tapi malam ini, aku akan jawab. Dengan serius.
Atau... setidaknya dengan gaya serius yang kupunya.
Karena gini ya, orang-orang terlalu sering ngira kalau hidup sendirian itu identik dengan kesepian.
Padahal menurutku, hidup sendiri itu... penuh potensi.
Coba pikir:
Kalau kamu punya pasangan, kamu harus bagi waktu, bagi perhatian, bahkan kadang—bagi makanan.
Sedangkan aku? Aku bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan kalau punya pasangan.
Contoh?
Makan mie rebus jam 2 pagi tanpa rasa bersalah.
Nggak ada yang bilang, "Sayang, nanti kolesterol."
Yang ada cuma aku dan air mendidih. Hubungan yang panas dan setia.
Pakai baju bolong buat tidur tanpa dihakimi.
Nggak perlu mikir image. Kaos dari tahun 2009 pun tetap jadi andalan, apalagi yang udah ngikutin bentuk badan.
Nonton video absurd tentang orang nyuci motor sambil nyanyi dangdut selama 2 jam... dan merasa tercerahkan.
Siapa yang akan protes? Nggak ada. Bahkan algoritma YouTube pun mulai respect dan nyaranin konten sejenis.
Ngomong sendiri di kamar dengan ekspresi penuh, seolah lagi jadi karakter utama di sinetron.
Kalau punya pasangan, kamu pasti udah dikira kerasukan.
Masak nasi, tapi lauknya cuma krupuk dan kecap.
Kalau ditanya, aku akan jawab: "Ini kuliner minimalis. Konsep."
Tidur miring ke kanan, lalu pindah ke kiri, lalu tengkurap, lalu guling dua kali tanpa harus mikir bakal nyenggol siapa.
Kebebasan ini nggak ternilai. Serius.
Bikin playlist galau yang isinya lagu-lagu patah hati, tapi dengerinnya sambil joget sendiri.
Karena siapa bilang galau harus diam?
Dan yang paling penting:
Nggak ada yang nanya, 'Kamu lagi chat sama siapa?' padahal aku lagi buka GrabFood.
Tapi jujur ya, aku bukan anti punya pasangan.
Bukan juga karena nggak laku—ehm, maksudnya, bukan cuma karena itu.
Aku ngerti kok, hidup berdua itu katanya indah.
Bisa ada yang nyuapin waktu sakit.
Ada yang ngingetin minum vitamin.
Ada yang nemenin nonton, bukan cuma nontonin kita dari jauh lewat CCTV emosi.
Tapi kadang, aku mikir...
Gimana rasanya punya pasangan yang tiba-tiba ngambek karena mimpi buruk di mana kamu selingkuh sama tokoh sinetron?
Atau yang marah cuma karena kamu ngetik "ok" tanpa emot?
Atau yang maksa kamu ganti baju karena katanya celana pendekmu "nggak estetik di depan temen-temennya"?
Sementara itu, aku...
aku bisa pakai sarung dan kaos bola buat ke minimarket tanpa rasa bersalah.
Bahkan tukang parkir udah kenal dan nggak menilai.
Dan kalau lagi bete, aku nggak perlu adu argumen.
Aku tinggal buka keripik, duduk depan kipas, dan ngomong sendiri kayak:
"Nara, kamu boleh marah. Tapi jangan buang plastik sembarangan."
Kedengarannya konyol, ya?
Tapi itulah enaknya jadi lajang:
Kamu bisa jadi gila dalam batas yang masih aman buat publik.
Lalu kadang muncul juga momen absurd...
Kayak waktu aku ke kafe, duduk sendirian, lalu mbak pramusajinya dengan sopan nanya:
"Lagi nunggu temennya ya, Mas?"
Dan aku jawab pelan,
"Nggak. Saya udah sampai."
Mbaknya bingung.
Aku senyum.
Dan dalam hati, aku nyuruh diriku sendiri:
"Kalau kamu nggak bisa bikin orang lain ngerti, setidaknya bikin mereka diam."
Karena hidup lajang itu kadang bukan soal siapa yang menemani, tapi bagaimana kamu nemenin diri sendiri.
Satu hal lagi yang nggak bisa dilewatkan dari hidup sendiri:
kamu bebas punya ritual-ritual aneh tanpa harus jelasin ke siapa pun.
Contohnya?
Aku punya jadwal nyetrika yang tidak konsisten, tapi sangat sakral.
Setiap malam minggu, jam sembilan malam, aku nyetrika sambil muter lagu pop tahun 2000-an.
Kadang Peterpan, kadang Audy, kadang... Ost. sinetron Bawang Merah Bawang Putih.
Dan saat itu, aku merasa hidupku stabil.
Nggak ada yang ganggu.
Nggak ada yang bilang, "Yakin mau nyetrika sekarang?"
Atau "Bisa nggak sih lagu yang lebih normal?"
Karena siapa pun yang hidup sendiri tahu:
nyetrika bukan soal rapi. Tapi soal terapi.
Belum lagi kebebasan dalam urusan makan.
Aku bisa makan nasi goreng tiga hari berturut-turut dari abang-abang nasi goreng yang sama, tanpa perlu jelasin ke siapa-siapa.
Dan ya, aku pernah juga bikin kopi jam 11 malam...
terus tidur jam 11.05.
Karena tubuhku sudah tahu: kafein tidak lebih kuat dari kelelahan emosional.
Kalau punya pasangan, mungkin aku udah dibangunin tengah malam cuma buat dibilang:
"Kamu tuh kalau mau tidur jangan ngopi! Nanti sakit!"
Padahal menurutku, yang bikin sakit itu bukan kopi.
Tapi ekspektasi yang terlalu banyak.
Dan malam-malam seperti itu, yang paling enak dilakukan cuma satu:
rebahan, nonton ulang Upin & Ipin episode Ramadan, dan tertawa karena aku lebih relate sama si Mail daripada karakter utama drama dewasa.
Dan kadang, dalam kesendirian itu, aku justru nemu yang paling jujur:
diriku sendiri.
Yang bisa malu sendiri, ngakak sendiri, bahkan kadang sedih sendiri...
tapi habis itu, bangkit sendiri.
Cuci muka, makan biskuit, dan lanjut hidup.
Sampai di titik ini, kamu mungkin mikir:
"Wah, hidup sendiri itu seru juga ya, Nar!"
Tunggu dulu. Jangan terlalu semangat.
Karena kadang, hidup lajang itu bukan tentang kita—tapi tentang mereka yang sudah menikah dan merasa perlu 'berbagi kekhawatiran'.
Contohnya waktu reuni kecil bareng temen-temen kuliah.
Satu meja, isinya pasangan semua.
Cuma aku yang datang sendiri, lengkap dengan jaket jeans, wajah santai, dan mental yang sudah dilapisi perisai tebal.
Awalnya biasa. Ngobrol, ketawa, nostalgia.
Tapi tiba-tiba, satu temen nyeletuk sambil nyenggol tangan pasangannya:
"Eh, kamu inget nggak, si Nara tuh dulu paling susah dideketin cewek. Tapi asik sih... cocoknya sama yang manis dan kalem ya?"
Aku senyum.
Senyum yang artinya: "Wah, ini udah masuk sesi Tebak Jodohku edisi paksa."
Lalu temen satunya ikut-ikutan:
"Eh Nar, gue ada temen kantor, anak HRD, baik, rajin, bisa masak... kamu pasti cocok!"
Yang lain nyambung: