Babi Bujang

Nara Senandika
Chapter #11

Bab 10 - Beli Tiket Dua, Tapi Buat Nanti

Aku kadang kagum sama optimismeku sendiri.

Kayak waktu beberapa bulan lalu, aku nemu promo tiket liburan murah banget.

Bukan cuma murah, tapi juga ada embel-embel:

"BELI 1 GRATIS 1!"

Sebagai manusia normal, tentu aku langsung mikir:

"Wah, ini semesta kasih sinyal. Ini pasti pertanda baik."

Tanpa pikir panjang, aku klik beli.

Satu tiket buat aku.

Satu lagi... buat siapa?

Belum tahu.

Tapi dalam hati, aku yakin:

"Tenang, Nar. Masih ada waktu. Nanti juga ada yang mau diajak."

Penuh semangat, aku cetak bukti pembelian, kusimpan di meja kerja, dan setiap pagi kulirik sambil membisikkan mantra motivasi:

"Kamu nggak akan berangkat sendirian. Pasti ada."

Hari demi hari berlalu.

Awalnya aku pede banget.

Senyum-senyum sendiri.

Kalau ketemu orang baru, dalam hatiku langsung ada skrining otomatis:

"Cocok buat diajak liburan nggak, ya?"

Ketemu kasir minimarket? Lumayan.

Ketemu tukang parkir? Boleh juga, asal bawaannya ringan.

Ketemu abang bakso? Hmm, kalau dia mau jualan di pantai, bisa jadi opsi.

Tapi semakin mendekati tanggal keberangkatan, rasa optimis itu mulai berubah jadi... rasa geli.

Karena sampai dua minggu sebelum hari H, calon partner liburan masih sepi kayak stasiun kereta jam tiga pagi.

Sampai aku mulai mikir:

"Kalau nggak ada yang diajak, mungkin tiket gratisnya bisa kujual?"

Tapi begitu aku lihat aturan promonya...

Tiket itu hanya berlaku untuk orang dengan nama sama di tiket pertama.

Alias... harus satu orang yang sama.

Alias... aku.

Alias... mau nggak mau, aku harus bawa... diriku sendiri.

Aku sempat ngelamun sambil ngaduk kopi:

"Kalau nanti di bandara ditanya, 'Mas, mana teman Anda?'

Jawab apa?

'Teman saya adalah diri saya di alam paralel.'"

Atau lebih serem lagi:

Kalau tiba-tiba petugas nanya:

"Mas, kok dua tiket satu orang semua?"

Aku jawab:

"Iya, saya pesan satu buat saya. Satu lagi buat harapan."

Saat itu aku sadar, hidup kadang kayak promo ini.

Keliatan menjanjikan.

Keliatan penuh peluang.

Tapi ujung-ujungnya, yang setia nemenin... ya cuma diri sendiri.

Dan mungkin... itu cukup.

Setidaknya cukup buat ketawa kecil sebelum ngangkat koper sendirian.

Hari keberangkatan pun akhirnya datang.

Aku berangkat ke bandara dengan koper di tangan kiri, tiket di tangan kanan, dan optimisme tipis-tipis di dalam dada.

Pas di pintu masuk, petugas bandara cek tiketku.

Dia lihat lembaran tiketku, terus melirik aku dari atas sampai bawah.

"Ini dua tiket ya, Mas?"

Aku angguk.

"Temannya mana?"

Aku senyum, jawab sekenanya:

"Nyusul, Pak. Dia orangnya suka kejutan."

Petugas itu cuma mengangguk pelan, mungkin dalam hati mikir,

"Kasihan ini anak, mungkin temannya nggak jadi datang."

Masuk ke ruang tunggu, aku duduk sendirian di kursi deretan tengah.

Sebelah kanan kosong.

Sebelah kiri kosong.

Persis seperti setting film-film yang mau nunjukin betapa sendirinya seorang tokoh utama.

Aku keluarkan dua tiket dari kantong, taruh di pangkuan.

Satu buat aku.

Satu lagi... ya, buat harapan yang belum lahir.

Beberapa orang lewat, melirik.

Mungkin mikir:

"Ini orang nunggu siapa? Kok tiketnya dua?"

Ada yang bisik-bisik ke temannya sambil senyum-senyum.

Aku cuma membalas dengan senyuman tipis ala pemain sandiwara jalanan:

"Semua baik-baik saja, Bu. Ini bagian dari skenario hidup."

Waktu pengumuman boarding, aku berdiri sambil menggenggam kedua tiket.

Sampai di depan pintu pemeriksaan, mbak petugas cek tiket sambil bertanya:

"Satu atau berdua, Mas?"

Aku jawab:

"Sendiri."

Dia lihat dua tiketku, bingung sebentar, lalu tersenyum sopan.

Aku langsung sambung:

"Yang satu buat cadangan. Siapa tahu di pesawat ketemu jodoh."

Mbak petugas ketawa kecil, mungkin karena kasihan, mungkin karena lucu.

Aku jalan masuk pesawat sambil membawa dua boarding pass,

seperti pahlawan yang membawa dua janji, tapi tahu salah satunya kosong.

Di dalam pesawat, aku duduk di kursi dekat jendela.

Kursi sebelahku?

Kosong.

Tentu saja kosong.

Aku letakkan tiket kedua di bangku kosong itu.

Sambil melihat keluar jendela, aku bergumam pelan:

"Kalau suatu saat kamu datang, aku udah siap tempat duduknya."

Dan sambil pesawat mulai bergerak, aku menguatkan diri:

Lihat selengkapnya