Ada masa dalam hidupku...
di mana sahabat ngobrolku bukan manusia.
Bukan teman kos.
Bukan tukang bakso.
Bukan ibu kost.
Tapi seekor kucing belang tiga yang suka nongkrong di depan pagar.
Aku nggak tahu nama aslinya.
Kalau ada.
Karena setiap orang di kosan beda-beda manggil dia:
Ada yang manggil "Oyen."
Ada yang manggil "Si Belang."
Ada juga yang simpel aja manggil dia "Pus."
Aku sendiri memilih nama yang lebih filosofis:
"Pak Kucing."
Karena dia bukan sekadar kucing biasa.
Dia guru kehidupan.
Pertama kali aku kenal Pak Kucing itu pas lagi malam Minggu.
Malam di mana seluruh penghuni kos mendadak sibuk:
Ada yang dandan buat pacaran.
Ada yang setel motor sambil bawa boneka gede.
Ada yang sibuk ngecek dompet, memastikan saldo cukup buat makan berdua.
Aku?
Aku duduk di teras, pakai kaos belel, sambil ngemil keripik pedas, memandangi jalan kosong.
Lalu muncullah dia.
Pak Kucing.
Melangkah santai, ekor tegak, mata malas.
Dia berhenti pas di depan kakiku, lalu duduk.
Santai.
Penuh wibawa.
Seolah berkata:
"Aku di sini, manusia. Ayo ngobrol kalau kamu mau."
Karena tak ada hal lebih penting, aku memulai percakapan absurd:
"Halo, Pak. Malam Minggu juga, ya?"
Dia menjilat kakinya tanpa rasa bersalah.
"Oh, saya juga. Santai aja di sini. Sama, kita."
Aku gigit keripik lagi.
"Pak, menurut Bapak, kenapa saya belum punya pasangan?"
Pak Kucing berhenti menjilat, memandangku malas, lalu kembali menghadap ke jalan.
"Oke. Saya ngerti. Artinya... saya harus lebih sabar ya, Pak?"
Dia ngedip pelan.
Lalu garuk-garuk telinga.
Dan di malam itu, tanpa sadar, aku menghabiskan lebih dari setengah jam... ngobrol sama seekor kucing.
Nggak ada balesan kata-kata.
Nggak ada tepuk tangan.
Nggak ada saran bijak.
Tapi ada satu hal yang aku rasakan:
ketenangan.
Mungkin karena Pak Kucing nggak pernah nanya:
"Kapan nikah?"
Mungkin karena Pak Kucing nggak pernah update foto bareng pasangan di grup.
Atau mungkin... karena Pak Kucing juga ngerti, kadang kita cuma butuh didengerin, bukan dikasih solusi.
Setelah malam itu, aku jadi ketagihan ngobrol sama Pak Kucing.
Setiap pulang kerja, sebelum naik ke kamar, aku sempatkan duduk sebentar di teras.
Kadang Pak Kucing nongol duluan, kadang aku yang lebih dulu datang.
Kalau dia datang lebih dulu, dia biasanya sudah duduk manis di bawah pot bunga plastik, menatap kosong ke langit.
Kayak lagi mikirin cicilan rumah.
Aku duduk di dekatnya, membuka percakapan:
"Pak, menurut Bapak, kenapa hidup ini berat?"
Pak Kucing menggeliat malas, lalu tidur miring.
Aku mengangguk-angguk bijak.
"Benar, Pak. Artinya kita harus tidur lebih banyak, bukan mikirin hal yang belum tentu terjadi."
Suatu sore, aku iseng bawa bekal camilan buat Pak Kucing: ikan goreng kecil sisa makan siang.
Aku sodorkan ke dia sambil berkata:
"Nih, Pak. Upah konsultasi malam-malam."
Pak Kucing mendekat, mencium-cium, lalu...
pergi begitu saja.
Meninggalkan aku, ikan goreng, dan sedikit harga diri yang tergeletak di teras.
Aku bengong.
"Oh, begitu ya, Pak. Kadang kita pikir sudah memberi yang terbaik, tapi ternyata yang kita kasih belum tentu dibutuhkan."
Dari situ aku belajar pelajaran baru:
"Memberi itu harus ikhlas. Jangan ngarep dibalas, apalagi ngarep diendus."
Pernah juga, suatu malam, aku lagi curhat soal kerjaan.
Aku ngomel panjang ke Pak Kucing:
"Pak, di kantor tuh kadang aneh. Orang kerja keras malah dimarahin. Yang cuma modal omongan malah naik jabatan."
Pak Kucing, seperti biasa, cuma melengkungkan punggung sambil menguap.
Lalu pergi begitu saja, tanpa pamit.
Aku diam.
Lama-lama sadar.
Mungkin pesan beliau simpel:
Kalau dunia ini nggak adil, ya sudah.
Daripada stres, mending ngulet, ngantuk, dan cari tempat nyaman buat tidur.
Dan malam-malam berikutnya, obrolan kami makin aneh.
Aku tanya soal cinta, dia malah tidur.
Aku tanya soal karier, dia garuk kuping.
Aku tanya soal masa depan, dia malah main kejar-kejaran sama cicak.
Pak Kucing tidak pernah kasih jawaban yang aku mau.