Babi Bujang

Nara Senandika
Chapter #14

Bab 13 - Disangka Bujangan Selamanya

Ada satu stigma yang rasanya nempel terus begitu umur lewat kepala tiga:

Disangka bujangan selamanya.

Awalnya aku pikir cuma bercanda.

Tapi lama-lama kok kayak sumpah serapah ringan.

Misal, ketemu tetangga lama di minimarket.

Aku baru mau ambil indomie satu dus, langsung disapa:

"Wah, masih bujang juga, ya? Nanti keburu ubanan, loh."

Aku cuma bisa ketawa kecil sambil mikir:

"Kalau ubanan karena nunggu jodoh, mungkin kepala saya udah kayak kelapa parut sekarang."

Pernah juga, di acara keluarga.

Semua orang sibuk bercerita soal anak masing-masing.

Ada yang baru lahiran.

Ada yang baru daftar SD.

Ada yang sibuk cerita nilai rapor.

Aku?

Aku sibuk ngunyah bakwan sambil diam.

Tiba-tiba, seorang tante jauh menepuk pundakku:

"Kamu tuh kasihan. Nggak ada yang ngerawat nanti kalau tua."

Aku mengunyah bakwan makin pelan.

Rasanya bakwan itu berubah jadi bola kapas kering di tenggorokan.

Aku cuma nyengir sambil jawab:

"Tenang, Tan. Saya udah daftar asuransi kesehatan."

Dan seisi ruangan ketawa kecil.

Ketawa yang rasanya kayak tumpahan sambal pedas ke luka baru.

Di tempat kerja, situasinya nggak kalah seru.

Ada yang tiba-tiba nyodorkan brosur biro jodoh.

Ada yang tiba-tiba mengenalkan anak teman sepupu bibinya.

Ada yang lebih kreatif: pura-pura ngajak reuni, ujung-ujungnya ternyata acara perjodohan terselubung.

Aku hanya bisa melangkah tenang.

Dalam hati aku menulis mantra:

"Aku bujang bukan karena tidak laku. Aku bujang karena pilihanku. Dan juga... karena belum ada yang tahan lihat tingkahku makan kerupuk sambil joget."

Kadang aku bercermin dan bertanya sendiri:

"Nar, kamu yakin mau begini terus?"

Jawabanku selalu berubah-ubah.

Kadang yakin.

Kadang ragu.

Kadang malah sibuk ngelap kaca, lupa jawab.

Tapi satu hal yang selalu sama:

Aku bahagia jadi diriku sendiri.

Walaupun kadang dunia kayak seisi pasar, heboh tanya-tanya soal siapa yang bakal nemenin aku belanja sayur lima puluh tahun lagi.

Padahal...

Kalau urusan sayur mah, aku percaya diri.

Tangan kanan pegang kangkung.

Tangan kiri pegang bayam.

Sendiri pun bisa.

Yang penting, hati tetap seger kayak selada baru dicuci.

Pernah juga, suatu hari, aku ketemu mantan teman sekolah waktu lagi antre di ATM.

Setelah basa-basi standar soal kerjaan dan cuaca, topik pembicaraan berbelok cepat, tanpa ampun:

"Kamu masih sendiri, Nar?"

Aku senyum ramah:

"Iya. Masih menikmati hidup."

Lihat selengkapnya