Ada satu momen langka dalam hidupku.
Bukan momen nemu uang seratus ribu di saku jaket.
Bukan momen dapat potongan harga tak terduga di kasir.
Tapi... momen aku mau kenalan di acara nikahan.
Iya.
Aku.
Yang biasanya lebih pilih ngobrol sama es buah daripada orang asing.
Semua bermula dari undangan pernikahan seorang teman lama.
Seperti biasa, aku datang modal kemeja rapih, celana bahan, dan senyum setengah ikhlas.
Begitu masuk ke gedung, aroma nasi kebuli dan dendeng manis langsung menyambut.
Perutku bergemuruh bahagia.
Tapi rencana awal untuk fokus makan mendadak goyah, saat aku lihat dia.
Seorang gadis.
Gaun pastel sederhana.
Rambut panjang dikepang rapi.
Senyum manis, tapi... ada sedikit tatapan kosong khas orang yang juga datang sendirian.
Kami sempat saling tatap beberapa detik.
Detik-detik penuh pertanyaan dalam kepala:
"Eh, sama-sama sendiri nih.
Boleh kenalan nggak ya?
Nanti dibilang modus nggak ya?
Tapi masa iya cuma diem doang?"
Entah kekuatan dari mana, aku menggerakkan kaki mendekat.
Bawa piring isi lontong sayur, rendang, dan kerupuk.
Langkah mantap, hati gemetar.
Aku mendekat, pura-pura cari tempat duduk kosong, dan...
tanpa disengaja (sengaja banget), aku duduk di sebelahnya.
Kami bertukar senyum canggung.
Aku beranikan diri memulai:
"Datang sendiri juga, ya?"
Dia ketawa kecil.
"Iya, teman nikah semua, jadi ya gini."
Obrolan mulai mengalir.
Dari makanan, film, sampai cerita absurd tentang mantan-mantan yang suka menghilang kayak jin di siang bolong.
Aku mulai merasa nyaman.
Ada secercah harapan.
Mungkin, hari ini aku tidak akan pulang hanya bawa sisa kue lapis.
Mungkin, aku akan pulang bawa... kontak baru di ponsel.
Obrolan kami makin cair.
Setiap kali aku melempar topik sederhana seperti:
"Film terakhir yang kamu tonton apa?"
Dia menjawab dengan antusias, lengkap dengan gerakan tangan kecil yang lincah.
Setiap kali aku bercanda soal betapa aku jago menghabiskan satu loyang pizza sendirian, dia ketawa sampai menutupi mulut dengan tangan.
Aku mulai merasa, mungkin dewi keberuntungan hari ini sedang iseng memberiku hadiah kecil.
Sebuah kenalan baru.
Sebuah kemungkinan.
Sambil makan lontong sayur, kami bercerita banyak hal.
Tentang masa kecil yang suka main petak umpet sampai magrib.
Tentang cita-cita absurd pengen jadi penyanyi padahal suara cempreng.
Tentang keanehan teman-teman yang baru nikah tapi sudah upload foto baju bayi.
Aku sesekali melirik jam tangan.
Tidak terasa sudah hampir satu jam.
Obrolan yang mengalir seperti air di selokan musim hujan: deras, jujur, dan penuh kejutan kecil.