Ada banyak hal kecil dalam hidup ini yang kelihatan sepele, tapi dalam diam bisa membuat hati sedikit sobek.
Salah satunya:
Promo paket couple.
Ceritanya bermula saat aku iseng mampir ke kafe dekat kantor.
Niat awal sederhana: beli kopi buat nemenin kerjaan.
Tapi begitu lihat papan promo besar di depan pintu, hatiku langsung menciut.
Tulisan gede, huruf tebal:
"BELI 1 GRATIS 1 UNTUK COUPLE! BERLAKU UNTUK PASANGAN!"
Aku berdiri bengong di depan pintu.
Beli satu gratis satu?
Kopi gratis?
Kenapa harus couple?
Kenapa single kayak aku nggak boleh ikut bahagia?
Apakah kesendirian itu dosa?
Apakah tangan kosong ini harus disertifikasi dulu supaya layak dapat promo?
Aku menatap papan promo itu lama sekali.
Mungkin lebih lama daripada aku menatap notifikasi pesan kosong di ponsel.
Masuk ke dalam kafe, aku tetap pesan satu kopi.
Bayar harga penuh.
Tanpa gratisan.
Tanpa senyuman manis dari kasir.
Cuma aku, kopi panas, dan bangku sudut ruangan.
Di meja seberang, ada pasangan muda lagi asik tukar-tukaran minum.
Tertawa pelan, suap-suapan croissant, dan sesekali saling mencolek hidung masing-masing.
Aku memalingkan muka, pura-pura fokus ke layar ponsel.
Padahal yang kulihat cuma aplikasi jam digital.
Tik... tok...
Tik... tok...
Dalam hati aku berteriak:
"Kenapa nggak ada promo buat orang kuat yang duduk sendirian kayak aku?!"
Misalnya:
"BELI 1 DAPAT 1 TISSUE GRATIS, BUAT YANG TEGAR SENDIRIAN!"
Atau:
"PROMO SPESIAL: DISKON 30% UNTUK PEMBELI BERSTATUS JOMBLO SEJATI!"
Aku yakin peminatnya banyak.
Bahkan bisa jadi lebih heboh daripada promo couple biasa.
Karena percaya atau tidak, di dunia ini banyak orang kayak aku yang hatinya kuat, tapi dompetnya lemah.
Kalau ada promo khusus jomblo, bisa jadi...
kafe penuh sesak, bukan oleh pasangan mesra, tapi oleh para pejuang tawa sendirian.
Aku mengaduk kopi perlahan.
Setiap putaran sendok di dalam gelas seolah mengaduk kenangan-kenangan kelam:
Dulu pernah ikut promo paket nonton couple, akhirnya bayar dua tiket sendiri.
Dulu pernah ikut promo makan malam couple, akhirnya makan dua porsi sendiri sambil pura-pura telpon orang.
Dan sekarang?
Duduk di kafe ini, sendirian.
Bayar penuh.
Tanpa croissant, tanpa colek-colek.
Hanya ada aku, kopi, dan kesadaran:
Promo itu memang penuh luka tersembunyi.
Bukan sekali dua kali aku menghadapi diskriminasi promo ini.
Pernah, di sebuah restoran cepat saji, aku melihat spanduk besar:
"Paket Berdua, Lebih Hemat!"
Aku pikir, siapa tahu aku bisa pura-pura.
Mungkin kalau aku beli dua porsi, mereka tidak akan peduli.
Aku mendekat ke kasir, dengan niat mulia.
"Mbak, saya mau pesan Paket Berdua."
Kasirnya tersenyum ramah, lalu bertanya: