Kadang aku duduk sendirian di kamar, sambil menyeruput teh manis dalam gelas retak, dan tanpa sadar, aku ketawa sendiri.
Bukan ketawa karena nonton video kucing jatuh dari meja.
Bukan juga karena baru dapet kabar kalau mantan nabrak tiang listrik gara-gara main ponsel.
Tapi ketawa karena satu hal sederhana:
Hidupku sendiri.
Kalau aku ingat-ingat lagi perjalanan panjang sebagai bujang, rasanya hidup ini mirip jalanan rusak yang sering bikin motor oleng.
Susah ditebak, penuh jebakan, tapi tetap seru.
Coba bayangkan:
Dapat undangan nikahan dari grup WhatsApp yang bahkan udah lama mati suri.
Datang ke nikahan sambil menahan serangan pertanyaan maut dari ibu-ibu tetangga, yang kalau bisa, pengen banget aku balas dengan kasih formulir lamaran kerja, sekalian.
Nonton nikahan, pulang-pulang malah nonton drama Korea, sambil ngepoin kenapa tokoh fiktif jauh lebih bisa dipercaya dibanding mantan gebetan.
Malam Minggu nekat ke mall sendirian, lalu dihajar pemandangan pasangan-pasangan yang mesra kayak adegan sinetron, dan aku cuma bisa pura-pura sibuk pilih kaos obralan.
Duduk di bioskop, di kursi couple, sendirian, sambil jaga tas di sebelah kanan biar kursinya tetap kelihatan "berfungsi".
Membuat daftar absurd tentang kenikmatan hidup bujang: makan kapan saja, tidur gaya bebas, playlist lagu suka-suka, dan bonus me-time tak terbatas.
Ngobrol sama kucing tetangga, sampai merasa bahwa Pak Kucing lebih paham isi hati dibanding sebagian manusia.
Beli tiket promo dua orang, dengan harapan siapa tahu nasib berbalik, eh ujung-ujungnya tiket itu berakhir jadi pajangan di lemari.
Berjuang di tengah serangan promo pasangan: makan, minum, nonton, semua untuk dua orang.
Sementara aku? Beli satu bayar penuh, lalu pulang sambil peluk nasi kotak.
Dan di tengah semua kekonyolan itu, aku tetap berdiri.
Tetap makan.
Tetap ketawa.
Tetap cerita.
Karena meski terkadang hati ini terasa kayak es krim yang ditinggal di bawah matahari,
aku percaya, tawa adalah satu-satunya topping gratis yang tidak pernah basi.
Aku pernah menulis di salah satu catatan kecil:
"Kehidupan bujang itu kayak belajar stand-up comedy.
Kadang kamu jatuh, kadang kamu malu, kadang kamu diketawain orang.
Tapi selama kamu masih bisa ikut ketawa, kamu tetap pemenangnya."
Dan hari ini, menulis semua kisah ini, aku merasa sedikit menang.
Bukan karena aku lebih hebat dari yang sudah menikah.
Bukan juga karena aku merasa lebih keren dari yang sudah berkeluarga.
Tapi karena aku bisa berdiri di antara tumpukan undangan, spanduk promo couple, dan bangku bioskop kosong...
dan masih bisa bilang:
"Aku bahagia. Ya, kadang."
Kalau ditanya, bagian mana dari semua perjalanan ini yang paling lucu?
Aku rasa... semuanya.
Bahkan saat aku hampir dilempar sandal oleh ibu-ibu di warung gara-gara sepotong ayam jatuh ke lantai.
Bahkan saat aku disangka akan bujang selamanya oleh tante jauh yang bahkan lupa nama lengkapku.
Bahkan saat aku nonton sendiri di bioskop, diapit pasangan yang ketawa cekikikan sambil makan popcorn.
Semua itu, kalau dilihat dari sudut tertentu, lebih mirip film komedi daripada drama tragedi.
Hidup ini memang aneh.
Kadang kamu datang ke pesta berharap pulang bawa cinta,
tapi malah pulang bawa kue lapis penyok.
Kadang kamu beli dua tiket pesawat, berharap ada yang duduk di sebelahmu,
tapi malah duduk sendirian sambil ngobrol sama pramugari soal cuaca.
Kadang kamu niat ngobrol sama manusia, malah lebih cocok ngobrol sama kucing.
Dan kadang, kamu merasa semua orang berpasangan kecuali kamu...
lalu sadar, sendirian itu bukan hukuman.
Sendirian itu cuma... jalan yang kebetulan kosong untuk sementara.
Seperti jalur tol tengah malam:
lengang, tenang, dan membebaskanmu untuk melaju sesuka hati.
Kalau hidup ini ibarat perlombaan, mungkin aku sudah lama diskualifikasi.
Bukan karena melanggar aturan.
Tapi karena terlalu sering berhenti di pinggir jalan, cuma buat duduk, makan gorengan, lalu mikir:
"Ngapain sih buru-buru? Yang penting kenyang dulu."
Orang lain mungkin sudah melesat dengan pasangan masing-masing,
mengendarai mobil keluarga baru,
upload foto bayi,
atau pamer ulang tahun pernikahan dengan tulisan panjang yang butuh dua slide.
Sementara aku?
Aku masih sibuk memilih mana yang lebih membahagiakan:
nasi padang pakai rendang atau ayam pop.
Pernah ada teman lama bertanya, dengan nada sedikit prihatin:
"Nar, kamu nggak takut tua sendirian?"
Aku nyengir.
Aku jawab:
"Takut sih kadang, tapi lebih takut kalau tua berdua tapi berantem soal remote televisi."
Karena jujur saja, menurutku, bahagia itu bukan soal berapa banyak orang di sekelilingmu.
Tapi soal seberapa sering kamu bisa ketawa tulus, bahkan dalam kondisi paling sepi.
Kalau kamu bisa ketawa sendiri saat jatuh dari motor gara-gara salip lubang,
kalau kamu bisa ketawa sendiri saat nasi bungkusmu jatuh ke lantai,
kalau kamu bisa ketawa sendiri waktu disangka petugas parkir gara-gara berdiri terlalu lama di depan mal...
Maka selamat.
Kamu sudah lulus ujian hidup versi babi bujang.
Aku kadang membayangkan dunia alternatif.
Sebuah dunia di mana semua orang, mau berpasangan atau sendiri, diberi apresiasi yang sama.
Di mana undangan nikahan bertuliskan:
"Untuk semua yang datang: entah sendiri, berdua, bertiga, atau bawa kucing."
Di mana promo restoran berbunyi:
"Paket Hemat: Untuk Dua Orang Atau Satu Orang Sangat Lapar."
Di mana pertanyaan "kapan nyusul?" diganti dengan:
"Mau tambah sambal, Nar?"
Sungguh, dunia seperti itu pasti lebih damai.
Dan lebih banyak orang yang berbahagia tanpa merasa harus buru-buru.