Suara sirene yang mengaum membelah jalanan benar-benar membuat dirinya segera tiba di tempat tujuan. Mobil Regi hanya membuntuti. Pikirannya kalut dan banyak doa ia ucapkan dengan lirihnya agar si korban tidak terluka terlalu parah. Saat dirinya mendapati ada seseorang yang melintas dengan cepat di depan mobilnya, tak ada yang bisa ia lakukan selain menekan rem sekuat mungkin.
Benar-benar kuat hingga decit yang ditimbulkan sangat keras terdengar olehnya juga bunyi debum yang membuat dirinya merinding tiba-tiba. Kali ini, ia tak boleh kehilangan kendali lagi. Mengikuti gerak cepat mobil bergaris merah putih itu adalah fokusnya sekarang.
Itu pun dia harus mengucapkan banyak terima kasih pada beberapa orang yang melintas, jadi ia segera sigap untuk melakukan tindakan apa. Yah, walaupun ia harus berurusan dengan kepolisian nantinya. Tapi setidaknya ia tak lari dari tanggung jawab. Dan ia dalam keadaan tidak mabuk atau berada dalam pengaruh narkoba. Itu yang paling utama.
Ini semua salah Dion!
Sialan memang pria itu! Sudah menimbulkan sakit hati, pun menyebabkan permasalahan karena membuat konsentrasinya terganggu. Ah, harusnya ia menerima uluran tangan Maudy untuk mengantarnya. Dasar! Betapa bodohnya ia!!! Menyesal pun rasanya tidak ada gunanya, kan?
Urusan dengan polisi diselesaikan keesokan harinya. Saat keluarga sang korban tiba, mereka justru tidak memperbolehkan Regi pergi menjauh dari mereka. Pihak kepolisian hanya ingin kesaksian dari Regi di keesokan harinya. Regi bersyukur atas kelonggaran yang terjadi padanya. Ia tak bisa membayangkan kalau harus ditanya ini dan itu dalam kondisi saat ini.
“Jadi kamu yang nabrak anak saya, hah?!”
Regi sama sekali tidak siap menghadapi bahunya yang tiba-tiba ditubruk tas tangan milik wanita paruh baya yang di matanya seperti kodok. Regi langsung meminta maaf pada Tuhan karena melontarkan ejekan mengenai wajah wanita yang kini menatapnya garang. Regi cuma meringis dan mengangguk pelan sebagai jawaban.
Awalnya pihak keluarga yang datang hanya seorang pria bersetelan resmi yang terlihat tenang-tenang saja. Diserahi dompet juga tas kecil milik si korban lalu entah lah Regi tidak tahu lagi apa yang diperbuat kecuali perkenalan singkat darinya. Regi mencoba mengingat namanya kalau tidak salah ... Bobby. Bobby Rennes. Iya, itu namanya.
Malah Bobby sendiri bilang, kalau dia tidak perlu terlalu khawatir. Paling sepupunya itu hanya gegar otak. Gila, kan? Kenapa dia bisa sesantai itu? Gegar otak itu parah! Bukan hanya sebatas lecet dan bisa ditutup oleh plester. Iya, kan? Regi bergidik saat Bobby berkata demikian.
Itu belum seberapa. Lebih aneh lagi saat dirinya bertemu dengan wanita paruh baya yang enggan memperkenalkan diri namun pada akhirnya Regi bisa menebak, wanita itu adalah ibu sang korban. Mengenakan kebaya merah menyala lengkap dengan sanggul dan juga riasan yang cukup mencolok mata. Wanita itu cantik berpenampilan begitu, hanya saja, ini rumah sakit. Apa si ibu ini habis menghadiri acara?
“Maafkan Regi, Bu. Regi enggak sengaja.”
“Maaf kamu bilang? Kamu kalau belum bisa menyetir bilang saja!”
Regi menelan ludah kasar. Dia bisa menyetir, kok. Mendapat lisensi bernama SIM bukan dengan cara singkat baginya. Dia merelakan diri bolak balik hanya untuk mendapatkan kartu tersebut. Dirinya memilih mengatupkan bibir. Ambuꟷibunya, pernah berkata kalau dalam posisi salah, tidak usah banyak bantah. Jawab seperlunya saja ketimbang memperpanjang masalah. Seperti sekarang ini.
“Pokoknya saya enggak mau tau! Kamu harus tanggung jawab mengenai anak saya!”
Dengan gegas Regi mengangguk. Memang itu yang sudah ia bulatkan sejak menabrak orang tanpa sengaja dua jam lalu. Dirinya bahkan sudah tidak mengingat kalau sekarang harusnya dia berada di kost; cuci muka, makan malam, shalat, lalu tidur dengan nyenyak karena besok akan menjadi hari yang panjang baginya.
“Awas kalau lari dari tanggung jawab. Mana KTP kamu?”
“Buat apa, Bu?” Regi mengerutkan kening kebingungan.
“Buat jaminan kalau kamu enggak lari. Sekalian kartu ATM, Kartu kredit, SIM, semuanya!”
“Hah?”
“Mah, jangan terlalu banget lah.”
Suara itu berbarengan dengan keterkejutan Regi akan apa yang diminta wanita itu. Masa iya sebagai jaminan ia harus mengeluarkan semua isi dompetnya? Saat Regi menoleh, pria paruh baya yang terlihat masih gagah itu menghampiri mereka. Senyumnya ramah berbeda dengan si wanita yang mendengkus memalingkan wajahnya dari Regi.