Aroma teh yang baru terseduh memenuhi indera penciuman Regi. Sontak ia berdiri dan menuju pantry. Ia yakin penghuni pertama kantor ini bukan dirinya melainkan Pak Firman, OB kantornya. Pasti pria itu sedang sibuk mempersiapkan minuman hangat bagi semua staff yang ada di ruangan tempat Regi bekerja. Tebakannya benar.
“Pak, aku mau duluan, ya.” Regi mengurvakan bibir. Sementara pria yang sedang menuang teko berisi air panas cukup terkejut dengan kehadirannya.
“Si Non Regi mah gitu. Bikin Pak Fir jantungan.”
Regi tertawa. Pak Firman mempunyai kebiasaan yang menurutnya tidak bisa terbantah. Panggilan Non dan Den bagi setiap karyawan sudah lama tersemat. Katanya bibirnya sudah terlalu terbiasa mengucapkan hal itu. Kalau harus diganti dengan sapaan ‘Mbak’ atau ‘Mas’ tidak enak didengar. Awalnya Regi sungkan. Seolah Pak Firman ini seperti pesuruhnya saja. Tapi ternyata bukan hanya dirinya, namun semua dan alasan kenapa hal itu menjadi kebiasaan Pak Firman ketika menyapa.
Akhirnya Regi mengalah dan tidak lagi membantah atau merasa sungkan.
“Mau dibawa sendiri atau gimana?”
“Bawa sendiri aja.” Regi mengucapkan terima kasih setelahnya. Satu cangkir teh hangat ia bawa pelan-pelan menuju mejanya. Harusnya di laci meja tempat biasa ia bekerja ada satu pak kue kering yang biasa ia jadikan stok camilan. Itu pun kalau belum habis dimakan Maudy. Sahabatnya itu hobi sekali mengunyah makanan kecil dan hebatnya, semua makanan yang masuk ke dalam tubuh Maudy seolah tidak menjadi daging. Hanya angin.
Ini dibuktikan dengan jarum timbangan Maudy yang jarang sekali mengarah ke kanan. Sementara Regi? Jangan tanya. Kalau saja dirinya memiliki body seperti Maudy dan pola makan pun seperti sang sahabat, ia akan sangat gembira. Tidak perlu harus menghitung sudah makan berapa banyak dan menunda makan malam karena jam yang sudah melewati angka tujuh ketika malam tiba.
Suasana kantor masih sepi. Regi datang pagi bukan tanpa sebab. Jam empat pagi dia memilih pulang setelah memastikan si korban sadar. Kondisinya sudah lewat masa kritis. Beberapa luka nampak terlihat di lengan juga kaki. Bahkan kaki kanannya dibebat perban panjang. Dokter bilang, ada patah di salah satu tulangnya. Regi bergidik ngeri mendengar penjelasan demi penjelasan yang ia dengar. Pun bagian kepala. Dokternya menambahnya, bisa jadi ada cidera kepala namun tidak parah. Tunggu hingga sang korban, Barra, sadar sepenuhnya baru akan dilakukan observasi lebih jauh.
Sementara hal tersebut sudah membuat Regi mendesah lega luar biasa. Setidaknya korban tidak meninggal di meja tindakan. Ya Tuhan! Pikiran buruk itu benar-benar menguras tenaganya. Entah karena sangat kekelahan atau bertumpuknya pemikiran, ini membuat Regi sama sekali tidak mengantuk. Tiba di kost, bermandi air hangat dan segelas susu juga setangkup roti pun tidak lantas membuat dirinya mengantuk.
Barangkali ini yang disebut tubuh sangat lelah hingga membuatnya justru terlihat segar. Padahal tidak. Saat Regi menikmati cangkir tehnya dengan sesekali mencelup kue kering miliknya, Maudy hampir histeris melihat penampilan sahabatnya.
“Gue baru kali ini lihat zombie di dunia nyata!”
Regi mendengkus. “Zombie enggak secantik gue, Dy.” Dia mengambil cermin yang selalu ada di dekat layar komputernya. Sebenarnya apa yang Maudy bilang benar adanya. Kantung matanya lebih tebal dari biasanya. Belum lagi matanya memerah hampir di setiap sudut. Oh, jangan lupakan sinar mata yang seolah redup sebagian.
“Lo T-Rex. Fix. Enggak ada T-Rex cantik.”
“Tai!”
Bukannya menjauh, Maudy duduk tepat di harapan Regi. “Need hug?”