Babu Boss

Siska Ambarwati
Chapter #6

Duit Regi amblas di titik nol

Regi merapal mantera agar kamar VIP yang ada di depannya berganti jadi kamar rawat biasa. Regi memang sudah menghitung kemungkinan terbesar kalau kamar yang ada di depannya nyata, tapi, isi dompet Regi merongrong tak terima. Gadis berambut cokelat itu memejamkan mata, lagi-lagi komat kamit berharap manteranya berhasil. Saat mengintip dari sudut mata, Regi langsung nelangsa.

Dompet gue!!!

Baru saja ia membulatkan tekad untuk masuk ke dalam ruangan yang membuat dirinya ingin menangis histeris, pintu itu sudah terbuka. Regi melotot kaget. Wanita paruh baya itu mendelik tajam ke arahnya. “Ngapain kamu di situ? Masuk!”

Regi kisut!

Saat dirinya dengan wajah tertunduk mulai memasuki ruangan, yang jelas sekali kalau wanita paruh baya itu memelototinya, Regi seperti sedang menyetor nyawa. Mengerikan. Serius. Di sana, sosok korban yang Regi tabrak terbaring lemah. Kakinya dibalut gips, pun kepalanya. Sementara bagian tangan si korban diberi penyangga. Regi sangat bersalah saat itu juga.

“Lihat, tuh! Kelakuan kamu berkendara!”

Regi semakin ciut nyalinya karena mendengar suara wanita itu.

“Mah, udah dong. Barra aja belum berkenalan sama yang bikin Barra begini.”

Regi angkat muka. Mendapati akhirnya untuk pertama kali mereka bersitatap. Aura intimidasi bisa Regi kenali dalam tatap tersebut. Padahal Regi bisa melihat wajah pria itu ada beberapa luka gores, mungkin mencium aspal saat kejadian. Juga sudut bibirnya yang terluka. Jangan-jangan bibirnya mengenai bemper Bobo?! Astaga, Regi! Mati saja lah, kau!!!

“Pokoknya gadis ini harus tanggung jawab. Jangan kamu beri kasihan sama dia, Barra.” Rere, nama wanita paruh baya eksentrik itu, bergaung dengan suara penuh penekanan. “Wajah ganteng anak Mama jadi enggak ganteng lagi, kan.”

Regi tidak tau mesti merespons seperti apa. Ini, serius membicarakan masalah tampang di saat  seperti ini? Lagian, wajahnya hanya lecet. Bisa, kan, lebih mengkhawatirkan hal lain? Semisal kakinya, lah. Tangannya, lah. Kepalanya yang diperban, lah. Astaga! Regi berurusan dengan orang macam apa, ya?

“Siapa nama kamu?” tanya si korban yang Regi tahu mengarah padanya.

“Regi, Pak,” cicit Regi.

“Ma, Pa, Barra mau bicara dengan Regi dulu. Sebentar aja.”

Bisa dipastikan Rere mendengkus tak terima. “Kenapa, sih? Mau main rahasia-rahasiaan sama Mama? Mau kamu lepasin dia?”

“Ma, please.” Barra yang mengetahui sifat ibunya hanya bisa menghela napas pelan. Sakit di sekujur tubuhnya makin jadi karena mendengar Rere luar biasa berisik ketimbang hari-hari sebelumnya.

Merasa ini waktunya bertindak, Rustam, pria paruh baya yang nampak kalem dan memilih menyibukkan diri dengan koran langganaannya, menarik sang istri keluar. Perlahan, tidak terburu-buru. Rustam masih sayang nyawa dan telinga. Itu pun masih mendapat protes besar dari sang istri yang memang tidak menerima kalau sang putra ingin bicara dengan gadis muda yang sudah tak lagi memiliki rona di wajah. Mungkin saking shocked-nya dengan kecerewetan istrinya.

“Papa apa-apaan, sih?! Dorong-dorong Mama begini?!” Kan, Rustam bilang juga apa. Pasti istrinya protes.

“Biarkan Barra bicara sama Regi dulu.”

Rere cemberut, namun jika Paduka Rustam sudah bicara. Sang permaisuri sepertinya harus menuruti. Rere masih menyayangi kartu-kartu berjenis emas yang selalu diisi Rustam kalau ia menurut. Bukankah istri harus menuruti suami, ya?

Setelah memastikan kedua orang tuanya menutup pintu, dengan isyarat Barra menyuruh Regi mendekat. Barra masih bisa melihat ekspresi lega yang ditampilkan sang gadis ketika orang tuanya, mungkin lebih ke arah sang ibu, keluar dari ruangan. Pun dirinya sebenarnya.

“Maafkan saya, Pak,” ucap Regi penuh sesal setelah menarik salah satu kursi yang tak jauh dari brankar si korban.

“Gimana, ya. Saya enggak gampang memberi maaf, sih.” Barra meringis sediikit karena perih pada sudut bibirnya. Sepertinya ia butuh cermin untuk mengetahui seberapa parah lukanya pada wajah.

Lihat selengkapnya