“Lo kenapa lesu gitu?” tanya Maudy tanpa basa basi begitu mendapati sahabatnya masuk ke ruang kerja. Tampang Regi tidak ada manis dan jahil sama sekali seperti biasanya. Kantung mata yang masih menghitam, makin memperparah keadaan. Juga dirinya yang tidak mau beranjak sama sekali dari duduk. Kepalanya ia taruh di meja, lalu memejamkan mata.
Maudy, kan, curiga! Siapa tahu sahabatnya itu kesambet hantu rumah sakit. Terus jadi waras dan tidak lagi usil. Tapi tidak seperti ini juga, sih. Seolah gairah hidup Regi amblas dimakan usia. Tunggu! Regi dan Maudy seusia, tidak akan mungkin Regi mendadak tua!
“Rasanya mau mati aja,” keluh Regi yang masih memejamkan mata. Mengambil bantal yang biasanya untuk sanggah leher, lalu menyembunyikan wajahnya di sana.
“Kenapa, sih?” Maudy penasaran. “Korban lo gimana?”
“Ih, anjir banget, sih. Kok, korban gue? Kayak lagu aja. Korbanmu.” Regi mendongak, cemberut dengan perkataan Maudy barusan.
“Ya lagian, lo aneh banget. Biasanya dihantam badai puting beliung aja masih berkokok. Ini, kayak ayam tiren.”
Regi buang muka. Kembali pada posisinya semula. Enggan menanggapi Maudy yang asal bicara.
“Non Regi sayang, yang mirip T-Rex abad ke duapuluh. Non, ada apa?” Maudy memelankan suara. Membelai lembut rambut panjang Regi penuh sayang biarpun bibirnya seenak jidat berucap.
“Dia minta tanggung jawab,” keluh Regi frustrasi.
“Lah, lo salah. Bego lo enggak ilang juga, ya?” Maudy mau tertawa tapi mendengar suara nelangsa Regi, akhirnya Maudy urungkan niatnya. Ia lebih baik membelai rambut Regi saja. Siapa tau, si empunya rambut sadar, kalau sebagian tangannya agak kotor sehabis sarapan setangkup roti tanpa lapis pembungkus. Lalu memarahinya. Itu lebih baik Maudy rasa ketimbang hatinya ikut galau melihat sahabatnya tidak berdaya seperti ini.
“Bukan itu. Itu jelas gue ngerti. Tanggung jawab hal lain.”
Maudy kontan melongo. “Apa, sih, maksud lo? Yang jelas, jangan kayak orang kumur-kumur.”
Regi mengangkat pandangan, matanya berkaca-kaca, lalu tiba-tiba memeluk Maudy yang kaget luar biasa. Di bahu Maudy, Regi terisak. Kencang. Hingga bahunya bergetar hebat.
“Lah, dia nangis. Diputusin cowok enggak nangis, dimintain pertanggungjawaban lo nangis. Maha benar hati T-Rex yang hobi dibolak balik.”
“Bangsat lo emang,” maki Regi di sela tangisnya yang belum mau berhenti. “Gue di ujung tanduk, tauk!”
“Makanya cerita, T-Rex!”
Lalu meluncur lah cerita mengenai asal muasal kenapa seorang Bhregitta Ifandari tertekuk lesu pun menangis di pagi hari yang cerah ini. Padahal baik Regi maupun Maudy jelas tau, ini adalah permulaan hari di mana mereka harus mengejar banyak target penjualan. Mereka tidak mau sampai digit-digit nol yang selalu setia mengisi rekening mereka, amblas dimakan urusan pribadi. Selayaknya sekarang, Regi dengan urusan korbannya, Maudy yang kebingungan dengan urusan membantu sahabatnya tanpa tau harus melakukan apa.
Selain berkali-kali mengatai Regi tentu saja.
“What the hell?!” Maudy melotot marah. “Lo serius?”
Bukannya menjawab, Regi makin jadi dalam tangisnya. Pagi ini sudah ada beberapa karyawan yang mulai berdatangan. Sontak mereka cukup terkejut dengan pemandangan duo lengket ini.
“Eh, Regi sama Maudy kenapa?” tanya Mbak Iva, staff finance, yang berjalan mendekat. “Kehabisan diskon sepatu, ya?”