Babu Boss

Siska Ambarwati
Chapter #8

Luck Nut!

Barra melirik gadis berambut cokelat bergelombang itu dengan sinis. Gadis itu memang datang walau lewat jam makan malamnya. Itu mengakibatkan obat dan vitamin yang harus diminumnya pun sedikit terlambaT. Beruntung, Egil, dokter rekannya yang merawat Barra memaklumi.

    “Lo enggak ditungguin Tante Rere?” tanya Egil saat tadi mengunjunginya.

    Barra hanya menoleh sekilas. “Malas. Pusing gue dekat Mama.”

    Egil tertawa. “Tante Rere sayang banget sama lo, ya.”

    “Urus kerjaan lo aja sanah!” usir Barra galak.

    “Ini makanan mau lo makan atau dibuang?”

    Barra manyun. “Makan.”

    “Butuh gue suapi?”

    “Najis!!!”

    Egil lagi-lagi tertawa. “Asli, yang nabrak lo apes banget sumpah. Tapi, sih, cantik. Gue kenalan, ya?”

    “Pergi sana lo!”

    Dan suara tawa Egil yang belum puas menertawakan Barra terus bergaung hingga gadis itu datang. Wajahnya terlihat lelah namun Barra abai. Pria itu marah dan kesal bersamaan. Lukanya memang sakit tapi bukan berarti perutnya tidak butuh makan. Lihat saja, Regi!

    “Maaf, tadi macet banget arah ke sini.” Regi benar-benar merasa bersalah. Ia meletakkan dua bungkus, tadinya ia hanya ingin membeli satu porsi namun ia ingat, makanan rumah sakit pasti tidak terlalu enak. Kalau pria bernama Barra itu tidak mau, nanti Regi habiskan. Energinya terbuang banyak hari ini.

    “Alasan.”

    “Enggak, Pak.” Regi berjalan ke arah wastafel; mencuci tangannya, membasuh mukanya sedikit, menguncir rambutnya dan kembali mencuci tangan agar tidak ada sisa kotoran setelah memegang rambut dan wajahnya. “Saya suapi sekarang?” tanya Regi sembari menghela napas.

    “Kamu bawa apa?”

    Senyum Regi terbit. “Sate padang. Bapak mau? Kebetulan saya bawa dua porsi.”

    “Pasti belinya yang di pinggir jalan, ya? Enggak higienis banget, sih, jadi perempuan. Enggak. Enggak mau. Makasih. Saya lebih baik makan makanan rumah sakit. Cepat, saya mau minum obat. Biar cepat selesai urusannya di sini.”

    Regi memanyunkan bibir. Dia, kan, hanya sekadar menawari. Kalau enggak mau pun tak masalah. Toh, dalam benaknya dia memang tak terlalu ikhlas berbagi. Apalagi setelah tahu akan direspons seperti ini. Memangnya salah kalau beli makan di pinggir jalan? Buktinya Regi dan perutnya sama sekali tidak bermasalah. Mungkin orang ini saja yang perutnya dilapis emas. Jadi kena sesuatu hal yang kotor sedikit, jadi tidak berkilau lagi.

    Tak ingin berlama-lama, Regi langsung menyiapkan semua perlengkapan makan seorang Barra. Sampai detik ini, hanya nama dan kelakuannya yang ajaib yang Regi ketahui. Perempuan itu pun malas banyak bertanya dengan lelaki model seperti Barra ini. Selain hobi sekali bersikap sinis, sekali-kalinya dalam hidup Regi, ia dibentak. Itu yang menyebabkan dirinya menangis di pagi hari senin tiga hari lalu.

    Selama ini, ia memang besar bertiga bersama ibu dan adiknya, Disti. Dibesarkan oleh seorang wanita berhati lembut dan halus, membuat Regi tumbuh menjadi gadis yang periang dan juga ceria. Dalam hidupnya, walau bibirnya sering melafal kata kasar di depan Maudyꟷiya, hanya di depan Maudy dirinya berani membuat kata makian. Selebihnya, kata-katanya sopan dan cenderung terarah.

    Saat Barra menggunakan nada tinggi, Regi terbawa perasaan. Alias baper. Bagaimana tidak; jam tidur kurang, ditekan oleh ocehan ibu korban yang seolah Regi adalah terdakwa dengan hukuman paling berat, belum lagi ia harus memikirkan masalah biaya. Oh, satu lagi jangan lupa. Seberat apa pun permasalahan pribadi, target penjualan tetap harus dikejar. Itu semua membuat satu titik badai demikian besar dalam benak Regi.

    Dalam satu sentak, semuanya ambyar tepat mengenai ulu hatinya. Bentakan Barra.

    Regi menangis bukan karena cengeng, itu sudah tabiatnya memang. Ia hanya tak menduga kalau Barra bisa membentaknya seperti itu. Maudy hanya mengatakan, kalau sekali lagi Barra-Barra itu berani menggunakan nada tinggi, Regi harusnya membuat kaki yang patah itu semakin sakit. Biar kapok. Jadi Barra akan segan untuk melakukan hal itu kepadanya.

    Cukup bagus memang sarannya. Tapi itu sama saja seperti Regi mengantar nyawa tanpa perlu aba-aba.

    “Tangan kamu sudah cuci tangan, kan?”

    Regi mengangguk sebagai jawaban.

    “Sendok dan garpunya lap tisu antiseptic dulu. Sudah dari tadi di tray.”

    Anggukan lagi yang Regi beri.

    “Jangan terlalu dekat sama saya. Kamu bikin luka saya makin parah kalau refleks bergerak.”

Lihat selengkapnya