Regi menghela napas panjang. Lega. Setelah mengucap banyak terima kasih pada satu customer potensialnya. Pak Iwan. Beliau berniat membeli satu unit mobil Jezz untuk kado ulang tahun istrinya. Kemarin siang, mereka bertemu di pameran. Pak Iwan banyak bertanya ini dan itu sebenarnya, tapi Regi tetap meladeni. Bagi Regi, pantang menyerah sebelum jadi calon pembeli. Toh, alasan ia membeli mobil cukup kuat. Sepertinya Pak Iwan model suami yang benar-benar menyayangi istrinya.
Buktinya, beliau langsung setuju dengan price list Honda Jezz yang Regi tawarkan. Katanya, kalau sedan si Ibu kurang suka. Nah kalau seperti tipe Honda Jezz, terutama kuning, Ibu pasti suka. Regi tidak mau membuang kesempatan. Ia segera membuat transaksi bernama pembayaran down payment terealisasi.
Namun segala persyaratan baru bisa dipenuhi di hari ini, hari di mana seharusnya Regi janji temu di kantor beliau yang tak jauh dari lokasi pameran. Tak masalah, karena pihak leasing pun baru bisa ditemui Regi setelah semua syarat lengkap.
Akan tetapi, Regi bisa apa ketika pagi hari sebuah pesan bernada perintah datang dari Barra. Mengatur sedikit waktu agar bisa direngkuh keduanya, karena Regi pikir, Barra benar-benar keluar dari rumah sakit setelah makan siang. Tapi ternyata?!
Barra dengan digdayanya!
Jam temu dengan kepulangan Barra berbarengan!!! Kiamat kecil bagi hidup Regi sepertinya memang dimulai karena Barra. Semua karena Barra.
Tak ada yang bisa Regi lalukan selain membuat panggilan bernada permohonan maaf yang tulus karena benar-benar tidak bisa bertemu calon customer itu . Dalam bayangnya, insentif yang akan dia terima terbang melayang membelah angkasa.
“Tenang aja, Nak. Bapak enggak masalah. Atau Bapak kirim pakai Gosend? Nak Regi di mana?”
Regi rasanya mau nangis!
“Regi kirim alamatnya, ya, Pak. Regi benar-benar minta maaf, ya, Pak. Nanti pas STNK turun, Regi mampir ke kantor Bapak. Regi yang antar, jangan Bapak yang ambil.”
Lalu pria paruh baya yang Regi rasa memang memiliki kepribadian yang hangat, tertawa renyah di sana. “Iya, boleh. Sekalian bertemu Ibu. Saya kenalkan ke Ibu sekalian.”
“Nanti Regi juga kirim semua syarat yang mesti Bapak kirim, ya. Semoga Ibu suka hadiah yang Bapak beri.”
Setelah memastikan sambungan telepon itu terputus, senyum Regi belum mau beranjak kecuali satu hal. Sorot mata curiga dati Barra yang sedari tadi memperhatikannya dari sudut sofa.
“Pak, ini apartemen District 9, kan, ya?”
“Kamu pikir?”
Regi manyun. “Kan, cuma tanya, pak. Memastikan. Takutnya nanti Abang Gojaknya salah alamat kan saya yang pusing.”
“Mau apa kamu sama Gojak?”
“Kirim berkas.”
Barra hanya berdecak.
“Regi,” panggil Rere dengan nada perintah seperti biasa. Wanita paruh baya yang cukup mencolok dengan blouse jingga dipadu celama tosca sudah memenuhi dapur dengan belanjaannya. “Sini, cepat.”