Maudy tertawa selepasnya. Setelah seminggu tak berdaya karena target yang gila-gilaan, akhrinya kali ini dirinya bisa tergelak bebas. Sebebas-bebasnya. Ini semua karena Regi! Iya, sahabat lengketnya yang tingkat bodohnya ada di level mengkhawatirkan. Bahkan Maudy sampai memukul setir mobilnya saking tak kuasa menahan gejolak geli akibat cerita Regi barusan.
Bersimbah air mata, Regi sukses terlihat seperti orang bego.
“Lo emang teman paling berengsek yang gue punya.”
“Hidup lo enggak jauh dari orang-orang berengsek, Rex,” kata Maudy di sela gelaknya.
“Sepupu, berengsek. Mantan pacar, enggak kalah berengsek. Oh, lu punya bos baru, itu berengsek level tinggi. Jadi, lo emang enggak jauh dari kehidupan berengsek, Rex,” kata Maudy tanpa mengurangi gelak tawanya.
“Tai!” seru Regi kesal. Dirinya mengambil satu kotak tisu yang ada di dashboard, menyusut air mata juga ujung cairan di hidungnya. Membuang asal di bawah pijakan kakiknya alih-alih membuangnya ke tempat sampah. Mengotori mobil Maudy adalah tujuan barunya sekarang. Biar rasa!
“Rex! Jangan macem-macem sama mobil gue! Anjir! Jorok banget!” Maudy mendelik tak terima ke arah sahabatnya itu. Lalu menunjuk begitu banyak tisu yang terserak di bawah kaki Regi yang dibungkus sandal jepit.
Biarpun level bibirnya sepedas Boncabe maksimum, Maudy paling tidak bisa melihat mobilnya kotor. Pun Regi sebenarnya. Makanya kenapa mereka berdua sebenarnya banyak kesamaan dan bisa awet bersahabat, karena pada dasarnya banyak hal yang beriringan antara mereka berdua.
Bedanya hanya satu. Bodohnya Regi level tiga, bibir cadas milik Maudy di level tiga. Sama levelnya, beda kategori.
“Udah, ayo. Gue lapar. Mau makan burger.” Regi tak peduli. Padahal belum genap ia memakan satu porsi soto daging. Ia membuang jauh-jauh angan mengenai body goals karena kesal yang merajai hatinya, minta dipuaskan dengan asupan makanan. Terutama junk food.
Nanti kita diet, ya, perut. Lo semua bagian tubuh gue, harus berjanji sama gue untuk diet dan olah raga. Begitu sugestinya dalam hati mengenai hal jika makan malamnya dilanggar atau dalam kondisi kesal luar biasa.
“Lo sialan banget, sih, jadi sahabat. Gue udahan, lah, jadi sahabat lo!”
Regi tertawa di antara tangisnya hari ini.
“Gue serius, Rex!”
Delikan marah Maudy tak dianggap. Maudy tak pernah meninggalkannya seburuk apa pun Regi bersikap. Toh, Regi memastikan dirinya tidak akan ke mana-mana ketika Maudy butuh dirinya. Mereka berdua seolah satu sama lain saling bersandar. Walau makian tetap berjalan.
Seperti saat ini, Maudy mana mau meninggalkan Regi barang sejenak. Bagi Maudy, mendengar suara tangis pilu karena tragedi yang menimpa sahabatnya itu, sudah membuat gadis bertubuh mungil itu merasa bersalah. Andai dia bersikap lebih keras pada Regi, pasti hal ini tidak akan terjadi. Geram juga kesal pun mewarnai Maudy ketika bibir Regi dengan mulusnya bercerita bagaimana tingkah Barra terhadapnya.
“Lo seharusnya melawan. Jangan mau diperbudak banget gitu, lah.” Maudy pernah berkata itu karena tak tega melihat tampang lelah Regi beberapa hari terakhir.
“Kalau bisa pasti sudah gue lakukan, Dy. Dia tuh luar biasa bikin gue macam kurcaci.”
Maudy tertawa. Bisa-bisanya sahabatnya itu berkata demikian.