“Semuanya udah, Rex?” tanya Maudy memastikan. Setelah mengabiskan waktu dengan makan junk food yang memang Maudy sukai, regi memintanya ke toko buku. Katanya ada yang mau dibeli. Maudy wajar curiga, kan?
Ilmu marketing model gimana lagi yang akan Regi pelajari? Semua kata-kata manis Regi bagai sihir untuk kalangan calon customer yang mendekat ke arahnya. Pantang bagi Regi untuk menyerah sekadar bilang, “Lihat price list dulu, ya, Mbak.” Kata-kata itu akan Regi ubah menjadi, “Saya DP sekarang, deh. Sayang promonya.”
Ajaibnya bibir Regi seperti itu. Saat pak Herman, bos di kantor mereka mengadakan promosi sebagai senior sales, nama Regi disodorkan paling awal karena kinerjanya. Makanya Maudy bingung ketika dirinya mengajak ke toko buku, katanya ada yang mau dibeli.
Dipikir gadis berambut hitam sepunggung itu, Regi mau menambah ilmu. Ilmu dicari bukan sekadar dari bangku kuliah saja, kan? Pengalaman juga seminar yang sering dihadiri pun menambah wawasan dengan membaca buku, termasuk salah satunya.
Ketika Regi memilih tiga hingga empat buku resep, tawa Maudy tersembur sudah. “Lo kesambet setan apaan, sih? Sumpah, lo aneh banget.”
“Gue curhat sedari tadi lo anggap apa, sih?”
Maudy masih tak habis pikir. Iya, dirinya tau permasalahan apa yang Regi hadapi. Tapi ia tak menyangka, sahabat lengketnya itu membeli buku resep. Padahal zaman canggih seperti ini? Astaga! Regi dan segala perilakunya.
“Kepiawaian lo hilang ketelan bumi atau gimana, sih, sampai benar-benar bisa diperbudak Barra?”
Regi mendesah frustrasi. “Lo enggak tau, sih, Barra tuh gimana.” Ia segera menyelesaikan transaksinya, lalu melanjutkan bicara. “Barra itu titisan iblis dan setan. Campurannya tapi pakai tepung kualitas super premium. Terus diadoni penuh lembut juga kasar.”
“Lo pikir Barra donat?” Maudy tertawa.
Tidak dengan Regi. Bibirnya masih mengerucut sepanjang yang ia bisa. Padahal hari ini tubuhnya serasa lepas semua tulang dan engsel yang ia punya. Tapi ia harus ke toko buku karena kewajibannya. Iya, perjanjian laknat itu mengharuskan Regi memasak dan mengurus Barra. Lengkap dengan apartemen yang cukup luas itu. Mengurus Barra menyebalkan mungkin Regi masih bisa memaklumi karena dipikir, ia pun memiliki andil paling besar kenapa pria pesolek itu tak bisa banyak beraktifitas.
Tapi kalau masak?
Poin itu benar-benar Regi lewatkan sepertinya. Memang, belajar via Youtabe atau pencarian laman resep yang tersedia lebih gampang, namun ia tak mau mengambil resiko ponselnya tercebur panci atau masuk dalam minyak panas. Regi memang seceroboh itu. Ketimbang merelakan dan merogoh kantungnya lebih dalam untuk membeli ponsel baru, ia memilih mencari buku resep saja. Mulai dari masalah yang simple, hingga yang kadar sulitnya bagi Regi tak sanggup ia gapai.
“Dia ngeselin banget, ya, Rex?” Ini bukan jenis pertanyaan sebenarnya. Maudy hanya menunjukkan simpatinya pada sahaabat lengketnya itu. usapan lembut diberikan di punggung sang sahabat yang wajahnya kini berubah sendu lagi.
“Banget. Ada enggak, ya, toko yang jual item sabar? Gue mau gesek kartu sampai jebol buat beli.”
“Sampai kapan lo diperbudak?”
Regi memang tidak menceritakan detail isi perjanjian pada Maudy. Kata VERY CONFIDENTIAL sudah membuat dirinya kisut mendadak apalagi terdaftar sah di mata hukum kalau perjanjian itu berlaku. Yang artinya, kalau Regi melanggar bisa-bisa ia terlibat dengan kepolisian kembali. Ia tak mau hal itu terjadi dalam hidupnya.
Cukup dengan menabrak seorang Barra yang berakhir sangat-sangat-sangat apes baginya. Tak mau lagi ia tambah masalah dengan membocorkan isi perjanjian.
“Sampai dia sembuh,” tutur Regi.
“Nasib lo, Rex, buruk banget.”