Untuk pertama kalinya dalam hidup Regi, ia mandi di tempat seorang lelaki. Dia segera memutar kunci pintu kamar juga toilet ketika ditunjukkan kamar kosong yang ada di seberang kamar Barra persis. Ruangan itu selalu tertutup. Saat Regi masuk, suasana rapi juga nyaman didapatinya. Fasilitas di dalamnya juga lengkap; TV, kasur king size, lemari baju setinggi hampir menutup langit-langit, toilet di dalamnya, juga balkon dengan pintu kaca geser yang tersedia sofa di dekatnya.
Barra memperbolehkan Regi menggunakan kamar itu sekadar untuk ganti baju dan mandi. Merasa dirinya sudah ditelanjangi Barra karena kelakuannya, Regi memilih menuruti untuk segera masuk ke kamar tersebut; mandi, tukar pakaian, dan make up sedikit. Setidaknya, ia harus fresh look.
“Duduk,” kata Barra seperti biasa. Dengan nada perintah, matanya tidak jauh dari ponsel, juga lirikan tajam setelah memastikan Regi berada tak jauh darinya.
“Sekali lagi saya minta maaf.” Regi memang salah hari ini. Bukan tak ingin segera berangkat, dirinya memang kesiangan, kan? Bahkan ia menunjukkan buku-buku yang semalam dibeli agar Barra tidak terus menerus memojokkannya dengan kata ‘tanggung jawab’.
Regi bosan dan jengah mendengarnya.
“Sarapan dulu.” Barra menyodorkan satu piring yang memang dikhususkan untuk gadis itu. Dalam netranya ia bisa melihat, sang gadis nampak membuat pertimbangan akan makanan yang dihidangkan di depan matanya. “Saya enggak beri racun kalau kamu mau tau.”
Ada desah pelan yang lolos dari bibir Regi. “Bukan gitu. Nanti saja ditambahin pasal-pasal atau dendanya karena sarapan yang saya makan, dibuat dari tangan Bapak.”
Barra lagi-lagi tertawa. “Enggak. Kali ini saya berbaik hati. Mendapat hiburan di pagi hari membuat hari saya semringah. Beruntung lah kamu.”
Terserah lo aja, deh, Barra!
“Makan, Regi.” Barra dan kuasanya. Regi makan dengan segera, tidak mau lagi disuruh hingga tiga kali. Gigitan pertama, Regi sampai melongo. Ini enak!
“Enggak pernah makan sandwich enak, ya?”
Barra sialan!!! Perkataannya barusan membuat Regi mengerucutkan bibir. “Enak aja! Ini karena gratis makanya lebih enak. Coba bayar. Mirip kayak makanan kucing.”
Barra ngakak.
“By the way, saya sudah bilang belum? Kalau kamu ada pekerjaan tambahan selain mengurus saya tentu saja.”
Tadinya Regi sudah mangap untuk mencaplok potongan sandwich yang tersisa. Mengunyahnya dengan segera dan cepat-cepat menandaskan gelas jus yang tadi Barra persiapkan untuknya. Lalu mulai beberes apartemen. Ini hari Sabtu, bukan berarti kantor Regi tutup. Regi tidak perlu absen memang, tapi ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya yang kemarin sempat terbengkalai.
Dirinya masih belum rela seandainya para rupiah kesayangannya terbang menembus angkasa. Tidak! Tidak! Regi bergidik ngeri membayangkannya.
“Regi, kamu dengar saya?” Barra bertanya. Gadis itu makan khidmat sekali. Barra sendiri bingung, ini selain karena memang buatannya yang lezatꟷsudah teruji klinis pada bagian ini, kok. Banyak yang memuji masakan Barra memang enak. Bukan sekadar memuji. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Barra cinta dapur, selayaknya ia mencintai dirinya sendiri. Itu lah kenapa, selain membantu sang ayah di kantor, kadang Barra melipir sejenak di dapurnya yang lengkap. Berlama-lama di sana sekadar membuat satu hidangan yang tau-tau terlintas di kepalanya.
Makanya saat Regi memperlakukan sayur serta buah yang biasa menjadi stok dalam kulkasnya secara asal, Barra berang. Yang tambah membuatnya bingung, Regi ini perempuan. Bisa-bisanya enggak mengerti area dapur! Kalau bukan karena kaki serta tangannya yang geraknya terbatas, Barra tidak akan mau meminta bantuan Regi seperti ini. oh, bukan bantuan lebih tepatnya. Tapi memperbudak!