Niat Barra, ketika Bobby datang, ingin menjamunya dengan hidangan makan siang yang dibantu Regi. Boro-boro niatnya terlaksana, yang ada Barra marah-marah juga kesal. Rencana masaknya gagal. Padahal niatnya Barra sudah sangat baik, lho. Mau mengajarkan Regi masak yang simple. Apalagi Regi saat datang tadi, ia menunjukkan niat mau belajar. Gadis itu menunjukkan empat buku resep tanda serius mau belajar.
Padahal ia sendiri masih belum beres berjalan, malah harus berjalan buru-buru, tertatih-tatih karena takut juga khawatir berlebih. Love akan diremukkan menggunakan sapu oleh Regi. Barra mengusap wajah frustrasi campur berang, marah juga kesal luar biasa. Pada gadis yang mengkerut ketakutan di balik sofa.
“Regi, mau sampai kapan kamu di sana?”
Di ujung sofa, Regi bersembunyi. Lengkap dengan sapu yang tadi hampir saja mengenai Love. Barra sudah berteriak heboh karena benar-benar ketakutan. Ia tak tau harus bagaimana kalau-kalau Love terkena pukulan Regi bar-bar.
“Musuh saya masih di sana, Pak?” tanyanya dengan suara bergetar. Regi benar-benar menahana tangis juga takut.
“Di kamar saya, Regi. Bangun. Taruh sapunya.” Barra menarik kursi yang tak jauh darinya. Lelah.
Regi mulai bangkit dari persembunyiannya. Matanya mengedar, awas memperhatikan sekitar. Takut-takut, hewan berbulu itu muncul tiba-tiba. Mengeong. Dan membuat dunianya berantakan lagi. Tidak! Tidak! Regi tidak mau bertemu apalagi berkawan dengannya! Sama sekali ogah!
“Perempuan bar-bar,” desis Barra seraya mengusap wajahnya kasar. Frustrasi juga melihat keadaan apatementnya sekarang.
“Saya enggak bar-bar, Pak.” Regi tidak terima. Sapunya masih ia gunakan sebagai tameng. “Saya benar-benar takut, tauk!” Regi pun menatap Barra tak percaya. Padahal matanya sudah berkaca-kaca saking ia tak ingin ada kucing itu di sekitarnya.
“Takut, sih, takut. Tapi kamu lihat dong yang kamu lakukan. Apartemen saya kacau. Kamu teriak-teriak enggak jelas. Saya dihubungi manajemen gedung. Malu, Regi. Malu!” Oke, Barra mulai hiperbolis. Bagian akhir hanya sebatas tambahan agar gadis bar-bar itu sadar, kelakuannya benar-benar luar biasa membuat kepalanya pusing dadakan.
Dan Regi menangis!
Barra kelimpungan.
Butuh waktu cukup lama untuk Regi tenang. Selain karena memang dia ketakutan juga disebabkan Barra yang demikian galak. Suaranya nyaring bikin Regi mengkerut lebih kecil lagi. Bukan seperti kurcaci, lebih parah, makin seperti liliput. Oke, Regi mulai gila dalam khayalnya. Saat ia mulai mendongak dengan mata yang masih buram akibat air mata, Barra duduk tak jauh darinya. Bersidekap melotot garang ke arahnya. Regi lebih baik menunduk lagi, lah. Menyembunyikan wajahnya yang sudah tak keruan dalam lututnya yang ditekuk.
“Mau sampai kapan?”
“Bapak galak.”
Barra mendengkus. “Usia berapa kamu? Cengeng banget.”
Regi menyusut ingus. “Cengeng enggak pandang usia. Bapak aja yang keterlaluan! Jelas-jelas saya takut kucing. Bapak masih sodorin kucing nyebelin itu ke saya!”
Barra memutar bola matanya. “Memang kamu bilang?”
Regi semakin tenggelam menyembunyikan wajah. Menggerutu tak jelas juga mendumel sepanjang yang ia bisa karena tingkah Barra hari ini.