Saat memarkir Bobo di pelataran kos, tubuh Regi sudah tidak ada lagi tenaganya. Semuanya terkuras habis padahal ia sudah makan malam. Harusnya ia memiliki tenaga dong. Tapi tidak. Ia benar-benar lelah. Ingin segera rebah dan tidur karena besok ia harus bangun pagi. Menuju apartemen Barra lagi, hingga enam bulan ke depan.
Rasanya Regi ingin teriak biar lelahnya sedikit hilang tapi mana mungkin. Bisa-bisa ia diguyur air cucian oleh penghuni kost yang lain.
“Neng Regi baru pulang?” tanya Pak Sarmin. Sekuriti kos.
Regi cuma nyengir tanpa menjawab. Rasanya bibir Regi terlalu lelah hanya untuk menjawab ‘iya’.
“Neng, ada paket.” Sarmin pun menghampiri dengan membawa satu kotak berpita ungu.
Regi menatap kotak itu dengan sangsi. “Dari siapa, Pak?” Ia heran, siapa yang mengirimkannya paket? Ia tak belanja online kahir-akhir ini.
“Enggak tahu, Neng. Cuma terima doang.”
Regi mengangguk saja. Diterima kotak itu dengan ragu. Begitu masuk ke kamar kos, kotak itu hanya diletakkan di dekat rak sepatu. Tidak ada nama pengirim pun kartu. Hanya ada tulisan, teruntuk Regi.
Ia pun segera mandi biar sedikti lebih segar dan bisa tidur. Bagi Regi, mandi sebelum tidur itu harus. Kalau pun tidak mandi secara keseluruhan, setidaknya ada air yang mengenai tubuhnya yang lengket. Saat ia membereskan pakaian kotornya, senyum Regi terangkat sedikit. teringat pada kejadian sore dua jam sebelum ia pulang.
“Sore ini kita masak saja, lah. Saya yang beri komando, kamu laksanakan.”
Regi tertawa mendengar bahasa yang digunakan Barra. “Aye... aye... captain.”
Barra cuma menggeleng tapi senyum kecilnya terbit. Setelah makan siang, ia masuk ke dalam kamar meninggalkan Regi yang sibuk merapikan bekas piring dan mangkuk kotor. Ia tak tahu setelahnya apa yang dilakukan sang gadis. Love tersayangnya mendengkur di tepi ranjang. Nyaman sekali. Biasanya Love tidur di tempatnya tersendiri. Tapi hari ini Barra tidak mau mengambil sebuah risiko. Ia tak ingin mendengar sebuah pengumuman kalau Love, kucing persia yang masih imut juga lucu dan menyenangkan versinya, meninggalkan dirinya karea sapu jahanam yang dipegang Regi.
Entah sudah berapa lama Barra tertidur, ia tak menghitung. Ketika ia keluar kamar, semua kekacauan tadi sudah beres dan rapi serta kembali pada posisi. Beruntung di apartemen ini, Barra tidak mau mendapatkan kiriman guci koleksi sang baginda permaisuri. Kalau tidak, ia tak tahu harus berkata apa kalau-kalau pecah karena ulah Regi tadi. Barra bergidiki ngeri membayangkan betapa panjang lebarnya sang ibu berceramah mengenai arti satu guci yang pecah.
“Regi,” panggil Barra.
Tak ada sahutan sama sekali. Barra curiga. Ia pun mengitari apartemennya, siapa tahu gadis itu bersembunyi lagi di balik sofa. Atau lebih parah, di balik lemari besarnya yang ada di dekat televisi. Tidak ada. Di semua penjuru apartemen tidak ada kecuali satu tempat. Kamar. Barra pun bergegas mengarah ke sana dan ketika pintunya dibuka cukup kencang, Barra mendesah lega. Sakit karena berjalan mengitari apartemennnya terbayar.
Gadis itu di sana. Tidur demikian pulas hingga tak mendengar Barra yang menggunakan tongkat mengarah padanya.
“Regi,” panggilnya. Alih-alih khawatir, karena ia pikir, sudah menemukan gadis itu. “Regi,” panggilnya lagi. Gadis ini benar-benar mirip mayat kalau tidur. Sama sekali tidak terganggu. Barra memilih duduk di tepi ranjang. Memperhatikan lamat-lamat gadis bar-bar yang tadi sempat ia marahi, berkata ketus juga sempat menggunakan nada tinggi saking gemasnya Barra atas kelakuannya itu.
Rambut panjang Regi hampir menutup wajahnya. Kulitnya bersih, Barra yakin, gadis ini menggelontorkan uangnya untuk merawat diri dengan apik. Wajahnya oval dengan alis yang cukup tebal. Matanya sebenarnya bagus, hanya saja Barra sering kali kesal karena entah kenapa Regi ini mendekati bodoh polos atau polos bodoh. Tatapan matanya yang selalu membuat Barra kesal berlama-lama menatapnya.
Belum lagi bentuk tubuhnya yang tinggi juga proporsional. Kalau Regi mendaftar jadi model, Barra rasa diterima. Mungkin karena setelah bebersih tadi, Regi menghapus make up atau memang tidak mengenakan make up, Barra kurang yakin. Namun satu hal yang Barra sadari, gadis ini innocent tanpa make up.
Ditambah, Regi mengenakan kaus oblong longgar bertulis namanya. Juga celana pendek selutut yang santai sekali dikenakan Regi. Seperti di rumahnya sendiri. Barra geleng-geleng pada akhirnya.