Begitu Barra membuka pintu kamar, Regi sudah ada di dapur. Terlihat segar walau sepertinya masih berwajah bangun tidur.
“Kamu sudah mandi, Regi?” tanya Barra tanpa berpikir. Ketika mendapat tatapan bingung dari Regi, ia menyesali pertanyaannya. Kalau bisa, pria yang masih mengenakan handuk di kepalanya ingin menarik dengan segera ucapannya barusan.
“Belum. Mana keburu. Cuma sudah sikat gigi, kok. Sama pakai parfum. Regi wangi kok, Pak.”
Barra sudah bilang belum kalau Regi ini polos mendekati bodoh. Mungkin saat ingin diturunkan ke bumi, pembagian kadar bodoh dan polosnya seimbang. Atau malah berat sebelah. Buktinya, Barra rasa gadis yang menggelung tinggi rambut cokelatnya itu tidak berpikir arah kalimatnya seperti apa.
“Mandi dulu sana.”
Regi manyun.
“Siapa tau di kos kamu enggak ada air hangat. Apartemen saya tersedia.”
Tadinya Regi sedang merapikan piring-piring bekas makan malam yang belum tersusun di rak. Tapi ia segera menghentikannya. Bahkan meletakkan sendok pun sedikit lebih kasar. Menyebabkan bunyi cukup berisik di pagi hari yang masih malu menunjukkan cahayanya.
“Water heater kos saya selalu nyala, Pak. Tawarannya saya tolak.”
Barra tertawa. “Pemalas banget jadi perempuan. Mandi pagi itu segar. Cepat, mandi.”
“Enggak!”
“Mandi, Regi.” Barra berjalan perlahan dibantu tongkat setianya.
“Kan, mau masak sarapan. Ngapain, sih, mandi sekarang?” Regi masih belum terima disuruh-suruh mandi. Regi paling malas mandi pagi di hari Minggu.
“Saya enggak mau masak sama orang yang masih bau iler kayak kamu.”
Regi mendelik tajam ke arah Barra yang kini sudah berjarak cukup dekat dengannya. Kalau saja melempar centong nasi ke arah Barra dikatakan sebuah pemakluman, pasti sudah ia lakukan. Regi kesal. Dongkol banget. Akhirnya, daripada berdebat lebih lama ia pun menuruti.
“Sebelum mandi, keluarkan dulu paha ayamnya. Sayurnya, buncis, wortel. Cabainya juga. “
Regi misuh-misuh. Namun tak ada lagi yang bisa ia perbuat kecuali menuruti. Ia tak tahu Barra mau masak apa untuk sarapan pagi ini. Yang penting, ia menuruti saja perintahnya. Hanya berharap, memasak bersama Barra agenda yang menyenangkan. Mengingat Barra ini orangnya benar-benar bisa membuat Regi selalu menukar sabar yang ia punya, dengan emosi yang demikian besar. Bisa-bisa Regi terkena keriput di usia sebelum tiga puluh tahun kalau terlalu lama dekat dengan Barra. Semoga tidak. Jangan sampai. Regi mendadak ngeri dibuatnya.
“Regi, jangan lama.”
Belum juga masuk ke kamar mandi. Paduka Mahadiraja, Barra Herdiyanto, sudah berteriak. Barra dan ujian sabar. Kolaborasi sempurna yang harus Regi hadapi beberapa bulan ke depan. Iya, kan? Semoga Regi lulus dengan nilai sempurna.
Sepertinya saran Barra itu ada benarnya. Regi lebih segar dan bersemangat. Ia kembali menggulung rambutnya tinggi-tinggi. Ia tak mau mengorbankan rambutnya yang biasa terkena sentuhan salon, dengan asap dari dapur. Atau lebih parah, terkena api dari kompor. Ia takut hal itu terjadi.
“Kita mau masak apa, Pak?” tanya Regi yang mendapati Barra yang duduk di kursi dekat dapur. Dilihatnya pria itu sedang mengupas bawang. Sangat kontradiktif sekali, kan? Barra yang ketus juga nyebelin, malah bisa masak dan jangan lupa, sepertinya Regi kalah dalam hal perawatan kulit dan wajah.
Ketika Regi mendekat, aroma yang ada di sekitar Barra bukan sebatas parfum yang akhirnya Regi biasa kenali. Ada aroma body lotion yang sama seperti miliknya. Nivea. Astaga!
“Yang simple. Saya suka masakan rumah bukan berarti yang ribet-ribet.”
Regi manyun. Dirinya mana mengerti masakan rumah yang dimaksud Barra. Sepertinya mereka berbeda selera. “Saya bantu apa?”
“Iris bawang bisa?”
Regi nampak ragu tapi ia harus mencoba, kan?
“Saya enggak mau, ya, ada tragedi kena iris pisau.”
“Ya pelan-pelan, Pak,” sungut Regi.
Lalu Barra mengangsur duo bawang yang ia takar sebagai bumbu. Pun bawang bombay. Jangan lupa cabai serta tomat.
“Ini semuanya, Pak?”
“Ini baru sedikit. Mau ngeluh?”
Regi tidak lagi mau berbantah. Pelan-pelan ia mengiris semua yang Barra beri tadi. Cukup lama Barra memperhatikan Regi mengiris satu bawang dan ia sudah tak sabar.
“Astaga! Lama banget, Regi!”
“Saya, kan, baru belajar.” Bibir Regi maju dua centi. Tak terima.
“Begini caranya biar aman dan juga cepat.” Barra akhirnya mengambil alih apa yang tadi ia beri pada Regi. Lalu mengajari bagaimana cara memotong semuanya. Sesekali ia memberitahu tebal dan tipis juga arah iris.
“Saya praktek pakai bawang yang lainnya boleh enggak?”
Barra nampak menimbang sebentar. “Setelah sarapan, deh. Lapar.”
Regi mengangguk tak membantah.
“Kamu masak nasi, saya tumis bumbu dan kamu ingat-ingat step-nya. Kalau bisa dicatat.”
“Ya elah. Divideoin aja gimana?”
Barra menggeleng pelan. “Terserah. Sipain dulu wajan yang mau dipakai. Ada di rak bawah. Minyaknya keluarin. Yang rendah kalori, Regi. Ada di rak atas. Bumbunya dekatkan di dekat kitchen sink. Biar mudah dipakainya.”
Regi turuti saja instruksi Barra.
***