Saat Barra keluar kamar karena mencium aroma kopi, sosok yang membuatnya kesal sepanjang malam sudah ada di sana. Kali ini tampilannya jelas berbeda. Walau kembali menggelung rambutnya tinggi-tinggi, pakaian yanag Regi kenakan sudah rapi. Tidak lagi menggunakan kaus kebesaran dan celana pendek.
“Morning, Pak,” sapa Regi dengan senyum semanis madu. Sengaja. Maudy pernah bilang, salah satu keunggulan Regi adalah senyumnya yang menawan. Deretan giginya yang rapi serta ada gingsul sedikit yang menyembul di bagian kanan, menambah kata menawan dalam senyum yang ia punya itu.
Regi percaya apa yang dibilang Maudy. Sahabat lengketnya itu tidak akan berbohong. Ya, kan? Makanya kenapa, ia menunjukkan senyum itu pada Barra. Niatnya baik. Membujuk sang bos baru agar tidak lagi cemburut atau marah-marah. Oh, satu lagi. Regi semalam melihat dengan baik tutorial membuat kopi yang baik dan katanya enak. Regi turuti saja, lah. Ia juga bikin sontekan step by step membuat kopi.
Semoga Mahadiraja Barra suka.
“Bikin apa kamu?” tanya Barra setelah duduk di kursi kebesarannya. Aroma manis vanilla menyapa penciumannya. Regi ganti parfum? “Biasanya pakai Paris, kamu ganti parfum?”
Gerak Regi yang sedang mengoles roti gandum untuk Barra, terhenti. Ia tak sangka kalau parfum vanilla yang dikenakannya, bisa dikenali dengan mudah oleh Barra. “Enggak suka, ya, Pak?”
“Enggak cocok sama kamu.” Barra bicara jujur. Ini terlalu manis untuk takaran perempuan setengah bar-bar macam Regi. Barra serius. Menurut penilaiannya, parfum sebelumnya lebih enak digunakan dan cocok bagi kepribadian Regi yang kadang asal-asalan itu. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu?” Barra mengerutkan kening kebingungan ketika mata mereka mengudara.
Di sana, Regi manyun. “Ini parfum kesukaan saya padahal. Kata pacar saya, manis seperti saya.”
Barra tersedak ludahnya sendiri. “Pacar kamu bohong berarti.” Ia pun menyambar cangkir kopi yang dibuatkan Regi tadi. “Ini enggak kamu campur sianida, kan?”
“Bukan sianida lagi, Pak. Baygon!”
Barra ngakak. Hiburannya benar-benar hidup. Regi dan segala ucapannya yang spontan. Dan jangan lupa, ekspresi wajahnya yang selalu menghibur Barra. Saat lidahnya disapa kopi buatan Regi, Barra nampak menimang sejenak. Matanya diedarkan ke sekeliling ruangan, indera pengecapnya ia gunakan dengan sangat baik sekadar mencicipi kopi itu.
“That’s good. Saya suka,” puji Barra tulus. “Ini bukan kopi sachet-an, kan?”
Tadinya Regi sudah ingin terbang ke surga karena mendapat pujian Barra, tapi sayapnya patah. Belum sampai dua meter ia terbang, sayap itu Barra patahkan hingga remuk. Regi susah payah, lho, mencatat resep, uji coba sejak pagi juga, belum lagi beberapa kali kena senggol panci panas. Dan mendapat pujian seperti itu? Luar biasa memang Barra Herdiyanto membuat mood Regi amblas.
“Lho, saya salah bicara?” tanya Barra bingung. Ketika mendapati gadis itu malah manyun. Duduk saja seperti orang terpaksa, bunyi decit kaki kursi yang beradu lantai marmer begitu berisik. Barra makin bingung jadinya.
“Bapak mau sarapan apa?” Regi dengan ketusnya melirik ke arah Barra yang nampak bingung melihat ke arahnya.
“Ya kamu siapkan apa untuk saya? Kali ini saya ikut kamu aja, lah.” Barra mengedikkan bahu. “Selama itu roti gandum. Asal topping-nya jangan terlalu manis. Saya enggak suka. Nanti cepat diabetes.”
“Aamiinn,” celetuk Regi.
“Oh, kamu doakan saya cepat mati, ya?”
Regi hanya memutar bola matanya jengah.
“Ini lapis madu.” Regi memang sudah menyiapkan sarapan roti lapis tersebut. Setelah memastikan garpu tersedia di piring, ia pun mengangsurnya pada Barra. Ia pun sarapan yang sama dengan sang bos menyebalkannya itu.
“Kamu pulang kerja biasanya jam berapa?”
Regi menghentikan kunyahannya, nampak berpikir. “Sekitar jam enam dari kantor, sih, kalau lagi banyak kerjaan.”
Barra hanya mengangguk seolah paham. “Jam kantornya?”
“Jam lima. Kenapa memangnya, Pak?”
Barra menghela napas. “Masa kamu enggak bisa mikir juga, Regi. Astaga.”
Regi mengerjap. “Memang ada apa, sih?”