“Duduk, Regi.”
Capek kerja, disambut muka masam sama Barra, terus hawa-hawanya mau dimarahi lagi. Kelarlah hidup Regi. Atau lebih baik, Regi setor nyawa sekalian saja, ya? Tapi Regi belum banyak menumpuk pahala. Dosa Regi masih sebanyak buih di lautan. Belum bisa menyenangkan Ambu juga masih ada tanggungan untuk kuliah Disti.
Lalu kalau dirinya keburu dicabut nyawanya? Regi membiayai itu semua bagaimana? Tapi kalau ia harus menghadapi amarah Baginda Diraja Barra seperti ini, ia bisa apa? Padahal ia sudah sangat buru-buru menyelesaikan sisa pekerjaannya tapi mau bagaimana lagi? Target tetap target. Itu saja Regi beruntung, customer yang coba dihubungi kembali, mau merespons dan dengan bujuk rayunya, akhirnya jadi untuk kredit mobil.
Ia juga harus banyak berterima kasih pada Maudy yang mau membantunya membereskan sisa berkas yang harus dipenuhi bagi pihak leasing nantinya. Kalau semua harus dibereskan di hari ini juga, Regi yakin, ia bisa selesai di atas jam delapan malam. Biasanya, sih, ia tak masalah. Tapi sekarang? Ada Barra yang menyebalkan yang akan merongrong waktunya untuk bertanggung jawab.
Menyesal pun tak bisa lagi ia ucap. Saat ia dengan rasa percaya diri bisa bertanggung jawab, kalau seperti ini caranya, Regi bisa mati berdiri nantinya.
“Regi, kamu enggak capek berdiri gitu?” tanya Barra sembari menghela napas panjang. Tablet yang sedari tadi menemaninya, ia letakkan di meja. Matanya menatap gadis berambut cokelat yang masih mengenakan seragam kerjanya dengan pandangan lekat-lekat.
Jangan lupa napas sang gadis yang nampak tersengal. Seperti habis maraton. Dilihat dari penampilannya, sepertinya itu memang dilakukan Regi. Buktinya, ada titik peluh di sekitar keningnya. Belum lagi penampilannya yang, astaga... jauh sekali dari kata rapi. Seragamnya juga sama. Biasanya untuk pegawai wanita dengan seragam seperti itu, mengenakan rok sebatas lutut namun Regi tidak. Ia memadukannya dengan celana jeans hitam yang nampak santai. Mungkin sudah diganti atau memang penampilan hariannya seperti itu jika sedang bekerja. Yang jelas, Barra mengenal betul seragam yang dikenakan Regi.
“Tapi saya enggak dimarahin, kan?” Regi belum mau beranjak. Ketika menyelesaikan sisa pekerjaannya, ia tak sadar kalau sudah hampir pukul enam sore. Ia bergegas pulang. Ingin berkirim pesan tapi takut Barra tambah marah. Beruntung jalan Jakarta masih bersahabat dengannya. Begitu tiba di lobby, tanpa berpikir dirinya masih mengenakan seragam lengkap pun high heels, lupakan make up yang hampir luntur, ia setengah berlari agar cepat tiba di unit Barra.
“Mau marah juga percuma. Daya saya sudah habis.”
Regi berjalan mendekat dengan ragu.
“Duduk sini.” Barra menepuk sofa di depannya menyuruh Regi segera menuruti.
“Kita perlu bicara masalah waktu kerja kamu.”
Regi memilih diam saja. Ketimbang ia bicara tambah salah dan membuat Barra marah, ia menurut saja lah. Siapa tau Barra mengerti kalau pekerjaannya ini memang menuntut. Padahal ia benar-benar lelah, tapi mau bagaimana lagi?
“Kamu ditempatkan di Honda mana?”
Regi mengerjap. Sepanjang mengenal Barra, dirinya memang berbincang random. Tapi jarang sekali menyinggung tentang pekerjaan. Regi hanya bilang kalau dia sales mobil. Ah, hari ini ia mengenakan seragamnya. Pantas Barra tau kalau ia menjual mobil Honda. Merek kacang goreng yang selalu laris di pasaran Indonesia.
“Fatmawati,” sahut Regi pelan.
Lama mereka didera hening. Barra nampak menimang sesuatu, Regi yakin itu, soalnya terlihat ia mengerutkan kening. Belum lagi mimik wajahnya yang serius.
“Kamu tinggal di sini saja, lah.”
Regi menatap Barra horor. Ini pria aneh menyebalkan ini serius? Gila aja!!! Tidak ada ide yang lebih buruk lagi selain hal yang baru saja ia dengar?
“Saya enggak akan macam-macam. Ngapain juga.” Barra menyandarkan diri ke sofa. “Kamu bukan tipe saya, by the way.”
“Lah, Bapak mikir aja kenapa. Saya dan Bapak beda jenis. Satu tempat gini. Bahaya, Pak!” Regi jelas histeris. Ini berhadapan dengan Barra yang bertemu dalam hitungan jam saja sudah bisa menguras emosi dan sabar Regi, bagaimana jadinya kalau mereka tinggal bersama?
Sampai di kos, Regi tidak perlu melihat Barra lagi. Ia bisa jingkrak-jingkrak semaunya. Mau memaki Barra seperti kebiasaan barunya sekarang pun ia tak akan sungkan. Kalau Regi tinggal di sini? Jangankan mau berkata kasar, mau mendelik marah saja ia masih berpikir nyawanya yang tidak akan selamat karena kekuasaan Barra.
Bukan apa, Barra memiliki kuasa untuk meremukkan Regi hingga hancur dengan sikap menyebalkan tak terbantahnya itu.
“Ya kalau kamu mau tiba di sini jam lima pagi sesuai perjanjian, dan menyiapkan makan malam juga sesuai perjanjian, silakan kamu menolak usulan saya.” Barra menatap Regi dengan pandangan malas. “Lagian, ada poin yang menyebutkan kamu boleh tinggal di sini. Toh, status kita beda. Saya bos, kamu pesuruh. Jelas sekali bedanya, Regi.”
Regi manyun kuadrat! Oh, tidak lagi. Sekarang manyun yang Regi punya sudah dalam level triplet. Kuartet juga boleh, lah!!!