Regi sudah menyelesaikan belanjaannya. Semuanya. Tak ada yang tertinggal. Mulai dari bumbu kering, stok tepung juga madu, dan jangan lupa beberapa bungkus puding karena Barra memintanya. Yoghurt juga. Belum lagi stok keju dan gula rendah lemak. Kalau dipikir-pikir, semua barang belanjaan yang Barraa mau itu tidak sembarangan. Ada beberapa yang Barra inginkan hanya merek tertentu. Kalau tidak tersedia, Barra memilih tidak membelinya. Itu pesan yang selalu Barra tekankan setiap kali, walau baru dua kali ini Regi belanja, sih. Tapi Regi selalu mengingat hal itu dengan jelas.
Ia tak mau bikin ulah dengan Paduka Barra. Bisa kalau emosinya karena Barra selalu bisa membuatnya kalah telak dalam hal adu pendapat. Kalau sama Maudy, Regi selalu bisa imbang. Entah kenapa dengan bibir Barra yang sedikit tebal itu, ia selalu kalah. Padahal Barra itu, kan, lawan jenisnya. Seharusnya bisa lebih kalem dan menjaga bicara, ya? Apa saat Tuhan beri kesempatan untuk menjadi cerewet, sosok Barra dulu mengacungkan tangan paling tinggi? Begitu?
Jika beda adanya demikian, Regi tidak pernah bisa membayangkan akan menjalani harinya nanti seperti apa. Apa sebaiknya Regi harus membeli wireless bluetooth yang slim kali, ya? Jaga-jaga siapa tau Barra dalam level maksimal menyebalkannya, Regi bisa mendengarkan musik saja.
“Tinggal buah.” Regi membaca lamat-lamat catatan yang ada di ponselnya. Pun pesan dari Barra agar buah untuk saladnya jangan sampai ada yang tertinggal. Katanya, besok pria itu mau makan salad. Makan pun dihitung jumlah kalori yang masuk. Astaga! Regi yang perempuan saja tidak serepot itu. Apa jiwa mereka tertukar, ya?
Kalau bicara buah, Regi sekarang semakin pintar dalam memilih. Ia tak segan meminta bantuan si penjaga konter untuk membantunya. Karena sudah langganan, akhirnya si Mas Jaga Konter mau saja membantu Regi. Pun direcoki Regi yang bawel bertanya ini dan itu.
Regi, sih, santai. Apa yang ia tanya juga berguna bagi hidupnya, kok. Ia tak perlu terlalu repot memilih mana yang manis dan matang, mana yang belum. Anggur, kiwi, apel, nenas, tomat, jeruk sunkist, pepaya, dan jangan lupa wortel yang cukup banyak, sudah Regi masukkan dan ceklis dalam list yang ia punya.
“Go home,” kata Regi sembari tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih atas bantuan si Mas Penjaga Konter tentu saja.
“Lho, Regi?”
Tuhan sepertinya belum ingin membuat seorang Bhregitta Ifandari senang. Buktinya, ketika ia menoleh ke arah sumber suara, sosok perempuan saingannya ada di hadapannya. Cengar cengir tidak jelas namun kental sekali aura permusuhannya. Kadang Regi ingin mengguncang kepala si perempuan, apa, sih, salah Regi sampai harus ditatapi sinis seperti itu?
Regi termasuk sepupu yang ramah, lho. Maksudnya, ia sering meladeni semua tante, om, dan juga para keponakannya jika acara kumpul keluarga. Tidak ada yang ia buat pilih kasih, termasuk keluarga besar sepupunya itu, Rena.
“Kamu... belanja?” Rena menatap Regi dengan sangsi. Gadis berambut cokelat itu? Mau berurusan dengan dapur? Keajaiban apa yang sedang terjadi saat ini. Rena tau dengan pasti bagaimana Regi selama ini. Bagaimana tidak, ibunya sering sekali membanggakan dirinya di depan semua orang. Hanya Regi, Regi, dan Regi.
Seperti tidak ada orang lain saja!
“Iya.” Regi malas berlama-lama. Apalagi saat ia melihat sosok lain yang menghampiri mereka. Dion.
Dengan penuh manja, Rena bergelayut di lengan kanan Dion. Menempelinya mirip lintah. Ini membuat Regi mengernyitkan kening. Apa enggak ada ruang privasi, ya? Ini, kan, supermarket! Dasar pasangan norak! Dan dasar mantan enggak guna! Sungutnya dalam hati.
“Kamu enggak mau ucapkan selamat untuk aku, Regi?” tanya Rena dengan pandangan yang masih meremehkan. Kepalanya sengaja ia sandarkan pada bahu Dion. Ini membuat Regi benar-benar jengah.
“Untuk?”
“Pertama, acara pertunangan kita satu bulang lagi. Kedua, aku diterima kerja di kantor Dion. Jadi, kami enggak terpisahkan. Iya, kan, Bebs.”
“Iya, Bebs,” sahut Dion. Bibirnya sengaja ia tarik dalam level maksimal. Ia tak tahu kalau harus bertemu Regi di sini. Beberapa waktu lalu, ia bicara dengan Regi. Tapi hingga detik ini, Regi seolah melupakan semua pesan juga apa permintaan Dion padanya.
Mungkin ia sendiri sudah sangat keterlaluan meminta Regi untuk sedikit mengerti mengenai masalahnya. Namun ia tak pantang menyerah. Dalam hatinya, ia masih yakin, kalau Regi masih bisa ia kendalikan. Hanya saja, bagaimana caranya untuk melancarkan apa rencana yang ia punya kalau lintah macam Rena selalu saja menempelinya seperti ini?
Ruang bebasnya sudah tak ada lagi. Namun ia bisa apa?
“Oh. Congrats kalau begitu.” Ini Regi bicara sebenarnya sudah menahan kesal dan gemas yang berbarengan memintanya untuk dipikirkan dan dirasakan secara utuh. Kesal karena bisa-bisanya ia tertipu dengan semua pembicaraan dengan Dion kala itu. sesibuk apa pun dirinya di kantor, kadang ketika matanya ingin terpejam menuju alam mimpi, ia masih memikirkan tentang Dion. Kadang juga, ia ingin bertukar kabar dengan pria yang masih belum mau bergeser dari hatinya itu, sekadar ingin mendengar suaranya.
Kalau mau marah dan kesal dengan perasaan Regi, silakan saja. Regi sendiri bingung, kenapa masih bisa menyimpan perasaan seperti itu pada Dion. Dua tahun menjalin hubungan, walau sesekali ribut karena silang pendapat, tapi semuanya tidak membuat Regi menyingkirkan Dion begitu saja. Dibilang sakit hati, Regi sangat-sangat sakit hati. Tapi Regi bisa apa kalau nyatanya, nama Dion masih menguasai hatinya.
Sekarang saja ia tak memikirkan sosok pria yang nampak lebih gemuk ketimbang sebelumnya itu. Apa dirinya harus berterima kasih pada Barra, ya? Walau menyebalkan, sosok bos barunya itu, yang membuat pikiran Regi sibuk sana sini dan membuatnya tak terlalu memikirkan Dion sang pacar yang tidak tau diri itu.
Semua tingkah Rena serta Dion tak ada yang luput dari perhatiannya. Walau sepupunya itu mirip cacing kepanasan, tapi Dion dengan sabar meladeninya. Ah, lagian buat apa Regi kelamaan di sini?
“Gue duluan, Ren,” pamit Regi. Ia hanya mencoba tersenyum masam pada Dion. Kalau dipikir-pikir, Regi memang perempuan paling tolol yang pernah ada. Status tidak pernah dalam keadaan putus, tapi diselingkuhi terang-terangan. Namun masih mau mendengarkan apa keluh Dion saat itu. Hingga sekarang, status mereka tidak ada kejelasan. Tapi Regi ambil sebuah kesimpulan kalau dirinya dan Dion, sudah tamat. Berakhir tanpa perlu kata-kata terucap.
Bagi Regi sebenarnya, diselingkuhi pacar itu menyakitkan. Tapi mau bagaimana lagi, Dion masih bisa ia ingat semua kebaikannya. Ah, dasar payah! Pernah terlintas di kepala Regi, mengenai status hubungan mereka ini bagaimana. tapi keadaan tak memungkinkan sekali. Regi sibuk bukan main.
Tunggu, kesibukannya ini ternyata ada manfaatnya juga. Kalau kata anak zaman now, ber-faedah. Ia bisa melupakan banyak rasa sakit akibat perselingkuhan Dion di belakangnya karena Barra. Barra menginterupsi Regi dengan digdayanya namun luar biasa berefek. Kadang malah, jika timbul keinginan untuk menghubungi Dion, justru Regi tau-tau sudah jatuh tertidur. Saking lelahnya antara bekerja dan merawat tuan maha benar Barra Herdiyanto itu.
Regi akhirnya senyum-senyum sendiri memikirkan hal itu. Apa ia mesti berterima kasih, ya? Tunggu sebentar. Masa iya dirinya harus berterima kasih pada orang yang sudah membuat hidupnya tak lagi bebas? Tidak sudi!!! Biarpun kesibukannya menyita banyak perhatian hingga tak lagi memikirkan Dion, tapi bukan berarti Barra banyak mengambil alih hidupnya, kan? Regi kembali manyun. Mengabaikan beberapa orang yang berpapasan dengannya yang menatap dirinya dengan pandangan heran.
Mungkin Regi disangka sudah gila! Masa bodo!