“Mesti banget makan di balkon?” tanya Regi horor.
Barra menatap Regi dengan pandangan skeptis. “Kenapa? Kamu takut?”
Pria yang nampak santai menggunakan celana sebatas lutut dan polo shirt biru cerah, juga mulai membiasakan diri bergerak tanpa tongkat. Walau agak sulit, namun terapisnya bilang, ia harus mulai membiasakan diri. Cedera di tangannya sudah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Bergerak dan mengolah makanan di dapur memang merupakan salah satu terapi paling andal yang Barra lakukan.
Setipa hari, Barra memasak untuk makan siang dengan menu yang sangat-sangat simple. Yang bisa ia kerja tanpa bantuan Regi. Gadis itu sebisa mungkin diingatkan agar memasak nasi. Jadi sekadar makan telur dengan irisan sayur dan siraman saus asin, Barra masih bisa terima ketimbang dirinya harus bergerak turun ke lobby untuk mengambil makan siangnya.
Toh, belum tentu soal rasa Barra sesuai walau ia bisa memilih di restoran mana ia akan menjatuhkan menu makan siangnya.
Selama rawat jalan ini, sebenarnya keberadaan regi sangat membantunya. Gadis itu gesit sekali mengerjakan pekerjaan beberes. Bahkan baju bersih yang baru kering saja, sudah apik dan rapi disetrika oleh Regi. Entah kapan ia mengerjakannya, namun Barra cocok dengan hasil pekerjaan gadis bar-bar itu. Belum lagi, entah sembari bebersih atau apa, Regi selalu bisa mengerjakan cucian kotor yang ada di keranjang dekat pintu kamar Barra.
Selama Regi di sini, semua urusan tetek bengek masalah kebersihan menjadi tanggung jawab sang gadis. Hanya saja yang tak pernah ia habis pikir, bagaimana mungkin Regi tidak bisa memasak? Apa dapur adalah musuhnya? Pikir Barra seperti itu. Aneh saja menurutnya. Padahal perempuan dan dapur, sebenarnya adalah kolaborasi yang asyik. Iya, kan?
Lalu ia mendapati gadis yang menggelung rambutnya tinggi—tinggi dengan bibirnya yang manyun entah berapa centi. “Bukan takut. Balkon itu anginnya kencang banget. Ngeganggu makan tau, Pak,” keluh Regi dengan jujur. Ia tak bohong untuk masalah satu itu. Ini lantai lima puluh lima. Angin yang berembus kuat sekali. Rambutnya yang sudah rapi pasti berantakan banget. Ia tak mau kalau harus menyisir ulang rambutnya.
Barra mendesah pelan. Regi dan semua keanehan ajaib yang dimiliki. Ia tak memedulikan keluhan itu, pikir Barra, itu hanya masalah sepele. Kenapa harus ia menuruti? Toh, ini keinginan Barra makan malam di sini. Sejak ia tinggal di apartemen ini dan menyulap ruang balkon ini, ia terbiasa menghabiskan banyak waktu di sini. Sekadar menyelesaikan pekerjaannya atau hanya tidur-tiduran sembari mengenakan masker untuk wajahnya.
Sementara sang gadis? Nampak menimbang banyak hal karena makan di balkon yang memang nampak menarik itu.
Soalnya, sore tadi sepulang belanja, setelah memastikan semuanya rapi masuk ke kulkas, Regi mandi. Keramas. Hal yang jarang sekali terjadi adalah, ia menggunakan creambath instan terlebih dahulu sebelum menyelesaikan sesi mandinya itu. Pun menggunakan handuk kecil selama membantu, ralat, menemani Barra memasak.
Dan rambutnya sudah apik kali, masa iya harus dikorbankan hanya demi makan di balkon?
“Saya selalu sudah udara malam. Bikin rileks.” Barra menuang saus di atas irisan daging panggang yang baru saja ia letakkan di piringnya juga piring Regi. Perlahan karena tangannya masih dalam gerak terbatas. Beruntung, terapisnya luar biasa membantu. Ia sudah mulai bisa menggerakkan tangannya sedikit demi sedikit walau masih terasa nyeri juga gemetar. “Sudah jangan cerewet. Siapkan saja di sana.”
Bibir Regi makin manyun.
“Tadi saya masak nasi, kan, ya? Kok, enggak ada?” Regi masih ingat, kok, menekan tombol untuk memasak pada perangkat masak nasi otomatisnya itu. Ia tak mungkin salah dan lupa. Dirinya belum pikun dan tidak terlalu banyak pekerjaan sepanjang memperhatikan Barra memasak. Kali ini masakan Barra so simple. Irisan daging panggang disiram saus barbeque, rebusan buncis dan jagung pipil disiram kecap asin, serta potongan kentang yang entah digoreng atau panggang, namun sepertinya enak.
“Ada,” Barra mendongak sekilas ketika melihat Regi nampak kebingungan. “Mata kamu minus berapa, sih, Regi?”
“Ih, Bapak! Saya tuh serius, enggak ada.” Regi mulai panik. Bahkan ia sampai mencari di tiap rak atas dan melongoknya satu per satu. Takut-takut ada yang menyembunyikannya di sana. Tapi mana mungkin, kan?
“Itu... di mangkuk merah!”
Regi nyengir. “Enggak keliatan.”