Regi bisa bilang makan malam kali ini cukup lumayan berakhir damai. Bisa dikatakan seperti itu, sih, menurut gadis berambut cokelat itu. Walau Barra hanya sesekali mengeluarkan sindiran tajam juga kata-kata Boncabe level maksimal, tapi bagi Regi, berakhir dengan damai. Setidaknya seperti itu yang Regi alami. Regi pun mnegharap, malam-malam seterusnya pun berakhir seperti ini.
Yah, setidaknya sampai enam bulan ke depan, kan?
Barra masuk kamar setelah kenyang menyantap satu porsi salad. Katanya, bagus untuk pencernaan. Sementara Regi masih ingin membereskan sisa pekerjaannya yang berkutat pada banyak berkas. Kata Barra, Regi ini hobi sekali buang-buang waktu sepertinya jika di kantor. Regi tidak terima tapi ia malas membantah. Kendati demikian, Barra tetap mempersilakan Regi untuk mengerjakan tugasnya di ruang tengah. Tanpa interupsi darinya. Karena pria itu memilih bergelung manja dengan Love.
Kadang Regi berpikir, mungkin Love ini jelmaan dewi kucing. Yang ketika dibawa masuk Barra ke dalam kamar, ia berubah menjadi sosok cantik bin imut. Karena Barra demikian menjaga kucing berbulu abu-abu muda itu dengan sangat hati-hati. Bahkan saat Regi mendelik marah pada Love, Barra yang membela hewan berbulu itu habis-habisan. Belum lagi, terkadang Regi mendengar Barra bicara dengan seseorang yang ia rasa, salon langganan untuk membuat sang majikan bosnya, Love, untuk dirapikan dan dibersihkan.
Iya, Love adalah majikan Barra. Sementara, Regi adalah pesuruh Barra. Love ada di kasta tertinggi di hierarki tahta kerajaan Barra. Hebat sekali, kan? Itu lah mengapa, Regi dimarahi habis-habisan karena bertingkah bar-bar terhadap Love.
Kalau mengingat hal itu, Regi ingin sekali mengeluarkan Love dari pintu belakang. Tak peduli jika nantinya, kucing kecil sok imut itu mati kelaparan atau haus tak ada susu. Tapi masa bisa, kan?
Lebih baik Regi memfokuskan diri memilah mana yang akan ia serahkan pada Ola, marketing di leasing yang bekerja sama dengannya dalam hal pembiayaan. Besok mereka ada janji temu di Citywalk. Tak lama. Karena di hari senin, agenda Regi sudah beda lagi. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada lagi, pun Regi harus mengejar banyak ketinggalannya dalam hal target.
“Semenyedihkan apa masalah kamu, target tetap target. Kamu harus tau, mana prioritas dan mana yang bukan, Regi.” Nasehat Herman suatu kali. Regi selalu mengingat hal itu dan camkan baik-baik. Toh, pada akhirnya, masalah yang ia hadapai berujung pada satu titik. Ketersediaan dana untuk hidup dua orang yang ia kasihi, Ambu dan Disti.
Mengingat mereka berdua, membuat Regi rindu serindu-rindunya. Sudah hampir dua bulan mereka hanya komunikasi via telepon. Padahal Regi kangen sekali ingin mendengar banyak cerita seru adiknya mengenai sekolah. Sebagai seorang kakak perempuan, penting baginya agar menjadi satu sosok sahabat dekat bagi adiknya itu. Kelak, sang adik akan terpisah darinya juga Ambu. Sebisa mungkin ketika waktu yang ia miliki masih ada dan sempat, ia harus pergunakan sebaik-baiknya, kan?
Cukup lama Regi memilah berkas yang sepertinya cukup banyak. Melihat banyak klip warna warni yang ia gunakan sebagai pembatas, membuatnya bersemangat padahal kantuk sudah menyerangnya sejak dua puluh menit lalu. Ia abaikan karena merasa, pekerjaannya masih ada dalam kondisi tanggung.
“Beres!” pekikinya heboh. Ia lupa kalau ini bukan kamar kosnya. Segera ia tutup bibirnya yang semena-mena berteriak tanpa perintah itu. Pertama, takut mengganggu tidur lelap Baginda Raja Barra. Kedua, ia tak mau disangka tukang onar di sini. Cukup sekali yang Barra peringatkan kalau pria itu kena tegur management gedung karena teriakan Regi yang membahana saat Love datang. Ia tak mau lagi mendapat delik dan ucapan sinis dari Barra.
Tidak berbuat salah saja, Regi sering kena sindir dan marah. Apalagi berbuat salah? Habis lah nyawanya. Segera ia bereskan semua kekacauan yang ia perbuat di ruang tengah. Tanpa ada yang tertinggal. Pun cucian yang sudah siap jemur yang ia tinggalkan sedari tadi berputar-putar dalam mesin cuci yang Barra punya. Urusan rumah tangga seperti ini, Regi tak perlu khawatir dan takut salah. Ia terbiasa mengerjakannya.
Setelah memastikan semuanya selesai dan beres, ia melirik sudah pukul sebelas malam. Baru saja akan masuk ke dalam kamarnya, pintu kamar Barra terbuka. Sontak membuat Regi terlonjak kaget luar biasa.
“Kamu belum tidur?” Barra bertanya seolah tak terjadi sesuatu pada Regi. Ketika matanya menatapa Regi yang nampak ketakutan, Barra justru memberi tatapan aneh. “Kenapa kamu? Kayak ngeliat hantu.”
Bagus bibir Regi ngerem mendadak. Wajah Barra ditempeli sheet mask!!!
Regi benar-benar kalah set!
“Kenapa, sih, kamu? Heran lihat saya?”
“Bapak hobi maskeran?”
Barra terkekeh. Berjalan dengan tertatih menuju sofa yang tadi di duduki Regi. Sementara sang gadis hanya memperhatikan, enggan membantu atau masih kebingungan dengan apa yang baru saja ia saksikan. Barra mendengkus tak suka.
“Iya, hobi saya maskeran. Kenapa? Aneh?”
Regi speechless!!! Jika hobi bos barunya itu gym, bersepeda, push up, atau main games, mungkin Regi tak heran. Memang, sih, di dalam salah satu daun pintu kulkas banyak tersebar masker. Pun belanjaan tadi siang, titipan Barra seputar pada perawatan wajah dan tubuh. Hanya saja, menyaksikan langsung itu efek kejutnya terlalu terasa.
“Ya... enggak aneh, sih.” Regi menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Terus? Kenapa muka kamu kayak ngeliat muntahan bayi?”