Punggung gadis itu akhirnya menghilang dari balik pintu apartemen. Setelah ia membantu Barra menyiapkan makan siang plus makan malam. Tadinya Barra ingin sekali menahan kepergian Regi, tapi tak ada satu alasan pun yang bisa ia berikan agar gadis bar-bar itu mengurungkan niatnya.
Semua pekerjaan rumahnya rapi. Tak ada yang terlewat barang satu pun. Bahkan cucian yang baru semalam dijemur, sudah rapi tersetrika dan siap ditumpuk dalam lemari besar milik Barra. Pun lantai serta meja yang bersih dilap oleh Regi. Gadis itu benar-benar jago dalam urusan rumah tangga. Kalau urusan dapur, ia memang tak secemerlang ketika memegang sapu dan alat pel.
“Love, enggak ada bahan ledekan enggak seru, ya?” Barra duduk sembari menyandarkan diri di sofa. Sudah setengah jam berlalu sejak Regi pamit keluar entah ke mana tujuan gadis itu hari ini. Tapi melihatnya tote bag yang ia tenteng, Barra rasa ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Apalagi, ia tau dengan pasti semalam gadis itu masuk kamar jam berapa. Artinya, ia memang sedang mempersiapkan sisa pekerjaan yang dibawanya pulang.
Sang kucing kesayangan, hanya mengeong kecil lalu kembali bergelung manja di samping majikannya. Sesekali jemari Barra mengusap pelan puncak kepala Love yang membuat hewan berbulu itu mengerang kecil.
Sebenarnya Barra punya banyak pekerjaan yang menanti untuk dicek dan juga butuh banyak konsentrasi tinggi menyelesaikannya. Jikalau ia tak mengalami kecelakaan ini, mungkin agendanya sekarang adalah ada di Malang. Cek lokasi yang akan menjadi cabang baru restoran keluarganya. Sebenarnya Bobby sudah informasikan kalau lokasinya oke juga strategis. Beberapa foto juga sudah dikirimkan asistennya itu padanya.
Rustam bilang, untuk beberapa cabang baru yang dibesarkan Barra, murni milik Barra karena ia yang mengelola. Sementara cabang yang ada di sekitar Jabodetabek masih sang ayah yang mengelola walau semua hampir sebagian besar, Barra yang membuat keputusan. Katanya, Rustam sudah ingin menyerahkan urusan retoran pada anak tunggalnya itu. Barra, sih, santai saja. Toh, ia merasa mencintai dunia restoran. Walau basic pendidikannya adalah manajemen.
Entah mengapa, justru ini menolongnya sekarang. Ia bisa mengatur dan mengelola bisnis sang ayah dengan lebih terarah dan bisa merancang akan seperti apa nantinya.
Akan tetapi, setumpuk pekerjaan itu tidak bisa menggugah hati Barra agar mau menyentuhnya. Pria yang kini asyik menyesap jus wortel buatan Regi itu lebih memilih mengutak atik layar TV-nya. Berganti channel semaunya, hingga rasanya mati gaya.
“Lama banget si Bar-bar pulang,” keluhnya tanpa sadar. Segelas jus itu sudah tandas pun roti rendah gula yang ia gemari. Apa sebaiknya ia tidur saja, ya? Siapa tau begitu nanti terbangun, gadis itu sudah kembali di apartemennya.
Ia tidak merasa kehilangan, kok. Hanya saja, rasanya sepi tanpa suara Regi yang berisik dan tidak bisa diam sekadar menuruti apa keinginan Barra. Ada saja yang selalu dibantah dan didebat gadis itu mengenai perintah Barra. Padahal apa yang Barra inginkan juga demi kebaikan sang gadis, kan? Seperti memasak misalnya. Itu bekal dia nanti, kan, kalau-kalau mau berumah tangga.
Alah!
Kenapa juga ia yang kerepotan, sih?
Barra pusing mendadak. Benar ide untuk sejenak tidur siang. Toh, tak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Bermain games juga rasa percuma. Mengganggu Bobby, sudah ia lakukan sedari tadi tapi nihil. Ponsel asistennya tidak aktif. Entah ke mana anak itu. Tidak mungkin ia mengganggu ibunya yang pasti Barra yakini, sedang berada di salah satu salon untuk melakukan perawatan.
“Love, aku mau tidur. Mau ikutan enggak?”
***
Regi melangkah riang. Sepanjang jalan menuju tempat janji temu dengan Ola, dirinya merasa senang luar biasa. Entah kenapa hal itu bisa ia rasakan sekarang seolah, tali kekang yang mengikatnya terputus. Ia bebas sebebas-bebasnya. Ponselnya juga tidak ada yang menginterupsi. Tidak ada panggilan buru-buru atau pesan bernada perintah dari seorang Barra Herdiyanto. Ia benar-benar diberi kebebasan hari ini.
Mungkin pria itu berpikir mengenai protes yang tadi dilayangkan Regi dua jam sebelum ia pergi. Bisa jadi. Baguslah kalau demikian. Sepertinya Regi memang harus sedikit lebih galak pada Barra. Jadi pria itu tidak terlalu semena-mena.
Ia juga menghubungi Maudy ketika di dalam Bobi sebelum beranjak dari basement apartemen. Hari ini, ia mau menghabiskan banyak waktu dengan Maudy. Toh, sahabatnya itu jomlo. Tidak akan terganggu dengan ajakan Regi yang ingin sekadar jalan-jalan tanpa belanja. Sebenarnya, Maudy menolak. Seperti biasa, gadis berambut hitam itu enggan kalau keluar tapi acaranya tidak jelas alias cuma bikin betis pegal. Maudy dengan segala perencanaannya.
Tapi Regi selalu berhasil membuat Maudy akhirnya menuruti apa keinginannya.
“Gue udah sampai.” Tanpa basa-basi Regi langsung bicara begitu nada panggilannya tersambung. Di ujung sana, terdengar decak kesal yang Regi anggap sebagai bahan tertawaan untuknya.
“Sabar, Rex. Gue baru dapat Greb. Lo juga mau ketemu Ola, kan? Lo ngeghibah sama dia dulu, lah.”
Kan, Regi tertawa bebas. Hanya seperti itu saja, Regi sudah sangat senang.
Menemui Ola di mall memang bukan pilihan buruk. Setidaknya itu yang Regi anggap dan yakini sejak semalam. Sekalian ia refreshing, kan? Tapi kalau lagi-lagi harus bertemu Dion, ya ampun, kenapa juga Regi bisa melupakan satu fakta? Dion bekerja di area perkantoran dekat Citywalk. Kemungkinan untuk bertemu pria yang nampak santai dengan kemeja garis abu-abu itu besar sekali. Seperti saat ini.
“Jodoh banget, ya.”
Regi memutar bola matanya jengah.
“Kamu ada perlu apa di sini?”