“Lho, Mbak Regi?”
Regi juga dua orang yang mengikutinya, menoleh ke arah sumber suara. Marah yang Regi punya, sedikit reda. Pantang bagi gadis cantik itu untuk terlihat memerah menahan marah ketika ditegur orang lain. Apalagi itu Bobby. Asisten Barra.
“Oh, hai Pak Bobby.” Regi berjalan mendekat. Senyumnya ia paksa karena tak mungkin wajah Regi mengeluarkan aura permusuhan. Bobby bukan lawannya. Ia hanya butuh cuap-cuap pada Barra. Sekarang juga.
“Mbak sudah ditunggu Bapak,” kata Bobby sembari tersenyum penuh arti. Ini membuat Regi mengerutkan kening. Setelah berpamitan, Bobby memilih segera meninggalkan lobby apartemen bos slash sahabat slash rekan kerja-nya itu.
“Dia siapa?” tanya Maudy heran.
“Asistennya Barra.” Regi hanya menyahut dengan singkat. “Lo bawa mobil gue aja. Senin lo jemput gue di sini, ya.”
“Eh, tai! Enak aja lo kalau ngomong. Kagak! Mending gue naik taksi pulang.” Maudy langsung bersidekap. “Lagian, lo harus ganti rugi tauk! Waktu gue berharga. Kalau Cuma nyampe ke Citywalk sebatas makan ramen doang mah, gue ogah!”
“Bukan mau gue juga, keleus!!!” Regi mengambl tentengan yang dibawa Dion sedari tadi. “Thanks, ya. Gue naik dulu.”
“Kamu mau ke mana?” tany Dion yang semakin penasaran. Sejak awal turun dari mobil, dirinya sudah diliputi banyak pertanyaan.
“Ini nasib mobil lo gimana?” tanya Maudy hampir berbarengan.
Mengetahui dua orang yang tadi ikut dengannya, membuat Regi nampak berpikir sejenak. Lalu tanpa aba-aba, ia pun mengambil kunci dan juga STNK mobilnya. Menyerahkan pada Maudy dengan segera. “Bawa aja sama lo. Lo jemput gue Senin. Di sini.”
“Eh, anjir! Lo tinggal di sini?” Mata Maudy bolak balik melihat kunci juga gerak Regi yang sekarang sudah mulai menjauh. Ini sahabatnya serius?
Regi menjawab agak sedikit kencang karena tergesa. “Iya, gue tinggal di sini.” Lalu dirinya menghilang di balik kotak besi.
“Berengsek emang,” keluh Maudy.
Dion yang tidak tau menahu, kebingungan melihat interaksi Regi juga Maudy. Terutama ketika dirinya diminta putar balik hanya untuk membeli buah. Regi dan buah memang suka, namun tidak sebanyak itu membeli untuk sekadar stok. Dion tau itu dengan pasti. Belum lagi sepanjang jalan Regi ketus sekali menerima panggilan telepon dan selalu dengan makian pada akhir bicaranya.
“Maksudnya apa, sih, Dy?” tanya Dion penasaran. Sangat penasaran.
“Maksudnya gimana? Gue enggak ngerti.” Maudy berbalik, masa bodo dengan Dion yang kini mengekorinya.
“Regi tinggal di sini? Bukannya dia ngekos di pondok indah, kan?”
Maudy menoleh sebentar, membiarkan rambut panjangnya menyentuh wajah Dion yang nampak terkejut dengan gerakan Maudy yang tiba-tiba tadi. Persis seperti iklan sampo yang ada di TV. Seperti itu Maudy bertingkah padanya. Beruntung, tidak ada satu pun ujung helai rambut Maudy yang mencolok matanya.
“Tinggal sama calon suaminya, lah. Secara dikasih apartemen mewah gini. Emang sama lo? Dikasihnya sakit hati doang.” Lalu Maudy berjalan dengan cukup cepat. Meninggalkan Dion yang termangu mendengar kata-kata barusan.
Enggak mungkin... itu enggak mungkin!
***
Regi manyun kuadrat. Ketika tiba di pintu apartemen Barra ia tak bisa segera masuk. Ada Love di sana. Tidur melingkar di atas sneakers Adidas kesayangannya. Ingin berteriak, ia belum masuk ke dalam. Ia tak mau kalau-kalau ada orang lain yang bertanya, kenapa dirinya histeris.
“Pak,” panggil Regi akhirnya. Menyerah.
Tak ada sahutan. Regi pun mencoba sekali lagi. “Pak, ini Regi.”
“Iya, saya tau. Suara kamu khas. Bar-bar.”