Ini sudah minggu kedua Regi berada dan tinggal dengan nyaman walau penuh emosi di apartemen Barra. Setiap hari Regi menyiapkan secangkir kopi, roti lapis atau pancake, pun menyiapkan makan siang. Jika weekend, Regi merapihkan semua bentuk hal berantakan menurut penglihatan Regi. Sabtu ia gunakan untuk mencuci semua pakaian Regi dan juga Barra. Juga membersihkan apartemen dengan vacuum cleaner. Menurunkan segala debu di setiap sudut. Baru saat minggu, Regi setrika semua pakaian yang sudah kering dan siap ditaruh dalam lemari Barra.
Oh jangan lupa, kaca yang ada di apartemen Barra. Banyak. Banyak sekali juga lebar juga panjang. Bahkan di kamar yang Regi tempati pun, kacanya demikian besar. Walau lelah, Regi tetap mengerjakannya. Bagi gadis berlesung pipi itu, kegiatan membersihkan area yang ia tinggali memnag harus rutin dikerjakan. ia tak suka kalau ada kotoran yang menyapa telapak kakinya.
Membantu memasak makan siang dan malam ternyata tidak seburuk pemikiran Regi. Ia mulai terbiasa mengimbangi Barra yang cerewet dan banyak mau. Makin hari pun Regi akhirnya hapal, apa saja kebiasaan pria itu dalam hal makanan. Jika siang hari di waktu kerja, Regi memang tidak ada dan tidak tau apa yang Barra kerjakan selain beberapa kali Barra bilang, ada terapis yang datang. Mungkin Barra ini bekerja, soalnya Regi sering kali mendapati Bobby masih diskusi penuh konsentrasi dengan bosnya itu saat Regi pulang kerja.
Kadang juga, Bobby makan malam bersama. Walau Barra sering kali mengusir Bobby dengan kata-kata tajam yang menurut Regi aneh sekali. Tapi sepertinya, Bobby biasa saja. Malah terkesan, Bobby sengaja tinggal di sana. Katanya mau makan gratis. Regi tertawa mendengar alasan yang Bobby beri itu.
Seperti sekarang. Jumat sore yang dilalui Regi dengan penuh dumelan. Pasalnya, dua customer yang ia follow up untuk pembayaran down payment hari ini, batal. Alasannya klasik. Mau pikir ulang. Padahal Regi bisa membaca air muka sang customer saat melihat-lihat brosur di pameran, hanya sebatas penasaran dan mau membandingkan harga antara tipe ini dan yang itu. sementara niat membeli, nyaris di angka 20%.
“Eh, ada Pak Bobby,” sapa Regi ketika masuk ke dalam apartemen Barra. Ia masih mengenakan high heels. Pun membawa tentengan tote bag berisi berkas customer juga paper bag berisi roti gandum kesukaan Barra.
“Hai, Mbak Regi. Kayaknya suntuk banget,” kekeh Bobby ketika mendapati gadis berambut cokelat itu masuk ke area dapur.
“Biasa, lah. Kerjaan kalau deadline pasti gini. Mendekati akhir bulan juga.” Regi tidak bohong dalam hal ini. Sudah sejak seminggu ini baik Regi maupun Maudy, oh juga tim sales lainnya, ditekan luar biasa mengenai target. Bahkan Maudy yang melesat sempurna penjualannya pun masih harus mendapat ocehan karena kuota keseluruhan masih belum terpenuhi.
Herman tidak marah, yang memarahi dan mendesak agar semuanya benar-benar memeras tenaga dan keringat adalah wakil branch manager mereka. Dody. Justru Kodok Bangkong, julukan versi Maudy, yang terus saja mencecar mereka. Kalau memang tidak bisa memenuhi kuota, memangnya mereka semua, lima belas orang sales yang ada, harus mengemis? Kadang, pria itu memang tak bisa diajak kerja sama atau setidaknya memberi jalan keluar.
Promo, lebih banyak Pak Herman yang buat. Brosur menarik serta harga yang bersaing, Pak Herman juga yang merancang. Bahkan sewa-menyewa booth strategis untuk pameran, itu pun harus menggunakan nama besar branch manager-nya. Lalu gunanya Dody apa? Tidak ada.
Kalau buat Regi dan Maudy, Dody hanya sebatas penjilat ulung yang beruntung ada di dekat Herman. Bukan satu atau dua orang, sih, yang membenci Dody. Itu lah mengapa hari ini cukup melelahkan bagi Regi. Tak ada yang bisa dilakukan Regi selain tersenyum kecil menanggapi kata-kata Bobby tadi.
Bobby tertawa, tapi Barra tidak. Matanya tajam mengawasi tiap gerak Regi.
“Kamu biasa pakai high heels gitu kalau kerja?”
Regi menatap bingung Barra yang tiba-tiba bersuara. “Iya. Kenapa?”
“Seharian?” Barra bertanya dengan pandangan takjub.
“Iya.” Regi mengerjap pelan. Ini Barra bikin dia bingung mendadak. Apa, sih, maksudnya?
“Jangan siksa kaki kamu pakai sepatu sialan gitu, Regi. Sesekali enggak masalah. Coba kamu lihat pergelangan kaki kamu. Pasti lecet.”
Regi membeku sesaat. Matanya masih memandang Barra yang kini sibuk menatap layar laptopnya. Sepertinya bukan hanya Regi yang kaget mendapati kata-kata itu meluncur dari Barra. Bobby juga demikian. Terlihat dari sorot matanya yang heran. Tapi pria itu mengedikkan bahu dan mulai fokus pada Barra yang bicara mengenai proyek barunya di Malang.
“Pak, makan malamnya mau saya siapkan apa?”
Barra mengangkat pandangannya. Regi masih di dapur dengan aneka sayur yang mulai ia keluarkan dari kulkas. Sejak gadis itu masuk ke dalam apartemen Barra, entah kenapa, wajah lesunya menarik perhatian Barra. Pasti hari ini dilewati sang gadis dengan cukup berat. Senyum Regi memang masih ada, tapi tetap saja, Barra tau kalau keadaan gadis itu jauh dari kata baik-baik saja.
Dan Barra tidak suka akan hal itu. Sama sekali. Ia lebih menyukai kalau Regi mendebatnya dengan wajah ceria atau yang memerah karena menahan marah.
“Kita makan malam di luar,” putus Barra.
“Yah, saya mau makan capcay seafood. Kemarin Bapak bilang, capcay bikinan saya udah mulai enak.”
Barra mingkem.
“Udah, Mbak Regi, mumpung Bapak mau traktir.”
Regi menghela napas. “Bukan gitu, Pak Bobby. Saya sudah keluarkan udang juga bakso ikan. Ini lagi pilah-pilah sayurnya. Bapak, kan, suka capcay yang banyak sayurnya.”