“Halo, Om, Tante,” sapa Regi ramah ketika membuka pintu apartemen Barra. Hal yang pertama kali diterima adalah tatapan sinis Rere. Wanita itu masuk dengan angkuh juga seperti tidak melihat Regi yang ada di sana.
“Halo, Regi.” Ini Rustam. Bagi Regi, ayah Barra jauh-jauh-jauh lebih ramah ketimbang istrinya. Yah, Regi paham, sih, kenapa ia masih mendapat sikap sinis sang ibu bosnya itu. Karena dirinya, Barra terbatas gerak dan celaka karenanya.
“Aroma enak apa ini?” tanya Rere penasaran. Dirinya langsung menguasai area dapur yang sudah rapi. Matanya memindai seisi yang bisa ia pandangi. Satu hal yang menjadi tujuannya. Kulkas. Saat ia membuka dan melihat isi dalam kulkas rapi dan sesuai keinginnnya, Rere nampak puas.
“Barra kalau mengatur rumah, tuh, kayak Mama.”
Barra yang baru keluar kamar langsung menghampiri dan memeluk ibunya erat.
“Duh, anak mama makin ganteng aja. Gimana luka kamu? Kaki kamu juga? Oh, coba Mama lihat wajah kamu, masih ganteng atau enggak?”
Barra cuma terkekeh. “Mama berlebihan.” Ia menuntun ibunya agar ikut duduk di samping sang ayah. Walau berjalannya masih belum normal, tapi Barra senang dengan kemajuan yang ia bisa.
Regi yang menyaksikan kedekatan mereka berdua, hanya mengulum senyum kecil. Mendadak hatinya rindu sekali pada ibunya. Pun sang adik. Disti. Apa minggu depan ia izin pulang ke Bandung, ya? Pasti boleh, kan?
Regi memilih menyiapkan hidangan kecil untuk kedua orang tua Barra. Ini membuat Rustam menelisik sedikit curiga pada gadis yang nampak santai berlalu lalang di dalam apartemen Barra.
“Regi tinggal di sini, Nak?” tanya Rustam lebih pada Barra. Namun karena gadis itu pun ada di depannya, Rustam tinggal menunggu siapa yang akan menjawab lebih dulu.
“Enggak, Pa.” Barra mendahului sebelum Regi yang bicara. “Tadi dia ke sini untuk bantu Barra masak. Lagian, Regi emang tiap minggu ke sini. Bersihin apartemen Barra.”
Rustam menjewer telinga anaknya dengan cukup keras. “Jangan sembarangan kamu, Barra.”
Barra yang tidak siap, hanya mengaduh dan berusaha melepaskan tangan sang ayah. “Sampai Barra sembuh aja, kok.”
“Nak Regi, sini kamu.” Rustam menunjuk agar Regi duduk di depannya. Barra yang nampak kesakitan itu langsung memasang wajah sok cool. Sok tengil. Padahal Regi ingin sekali menertawakannya. Usia tak menjamin kalau sikap kekanakan akan terus muncul, kan?
“Benar kamu cuma bantu Barra saat weekend?”
Regi bingung harus berkata apa. Sepanjang hari tadi, Barra tidak memberitahu apa-apa jika ada pertanyaan mengapa dirinya ada di sana. Bukankah, seharusnya mereka berdua juga tau, ya?
“Jangan melihat Barra. Jangan takut sama Bapak kalau Barra ancam-ancam kamu.”
“Papa apa-apaan, sih. Anak sendiri bukannya dibela malah disudutkan. Regi itu memang Mama minta setiap minggu bantu Barra. Biasanya juga anak ganteng Mama urus apartemen sendiri.” Suara Rere terdengar tak suka dan melirik ke arah Regi dengan tatapan sinis.
Yang bisa Regi lakukan hanya menghela napas pelan. “Iya, Om. Yang dibilang Tante Rere benar.”
Barra tersenyum kecil atas jawaban Regi. Sementara Rustam terlihat tidak begitu saja percaya, namun karena istrinya sudah bicara, mau tidak mau akhirnya pria paruh baya itu belajar untuk mempercayainya. Walau ragu.