Barra menggeram kesal. Tiga kali teleponnya tidak direspons Regi. Gadis itu bodoh atau bagaimana, sih? Harusnya dia segera angkat karena Barra mau bicara penting. Malah diabaikan seperti ini. Memangnya Barra orang yang pantas mendapat perlakuan seperti ini? Barra mendengkus kesal setelahnya.
Love yang mengetahui tuannya marah-marah, hanya kembali bergelung manja. Mengeong tanpa peduli Barra sudah mengepulkan asap di kepalanya. Mendapati kucing kesayangannya manja seperti itu, Barra pun mengangkatnya. Menatap Love dengan pandangan sendu.
“Ibu tiri kamu cuekin Papa. Kesal, ya?
Love mengeong lagi.
Barra mencebik. “Lapar?” Dalam satu kali gendongan, Love sudah ada dalam pelukan Barra. Pria yang santai mengenakan kaus oblong dan celana pendek itu segera menuju lemari penyimpanan makanan kesukaan Love. Setelah memastikan Love makan dengan lahap, Barra kembali ke ruang tamu. Duduk, menekuri ponselnya yang tidak ada notif selain berita yang enggan sekali ia baca.
Sesekali ia utak atik ponselnya, mencari berita yang tak tentu arahnya. Barra lama-lama makin kesal. Ia pun beranjak ke kulkas. Mengambil salah satu sheet mask yang ia punya. Ketimbang energinya terkuras karena Regi, lebih baik ia pergunakan sembari maskeran. Dalam hatinya ia masih punya secuil harap, siapa tau, Regi menghubunginya.
Sejuk. Dingin. Wangi. Dan juga lembut. Itu yang Barra rasakan ketika sheet mask menempel di wajahnya. Aroma blueberry yang lembut dan suasana yang tenang malah membuatnya memejamkan mata. Ia tertidur tanpa sadar dengan wajah mengenakan sheet mask. Bahkan Barra tidak sadar kalau Love sudah bergelung mesra di atas kepalanya. Sembari menjilati tangannya dengan santai. Tak peduli kalau-kalau rambut Barra nanti terkena serpih dry food yang barusan ia kunyah.
Ponsel Barra bunyi demikian nyaring, membuat si empunya terlonjak kaget. Pun Love. Ia sampai terjungkal saking mendadaknya Barra bangun. Merasa bersalah, Love langsung diangkat dan diusap dengan permintaan maaf. Juga kecup-kecup kecil agar Love tidak marah pada Barra. Sementara ponselnya masih meraung minta perhatian juga. “Ini siapa, sih, telepon enggak ada sopan santunnya?
“Hallo,” sapa Barra ketus.
“Bapak tadi telepon saya ada apa?”
Barra memejamkan mata. Kesalnya semakin jadi. Jangankan turun kadar ketusnya, marah yang menguasai Barra makin jadi. “Kamu dari tadi saya telepon ke mana, Regi?!”
“Saya... saya... ketiduran tadi, Pak. Capek banget.”
“Saya, kan, sudah bilang. Pakai travel aja, enggak usah nyetir sendiri. Nanti kalau kamu nyetir enggak beres lagi gimana? Kamu mau bikin celaka orang lagi, hah?”
“Bapak doanya jelek banget, sih? Saya itu emang lelah banget, Pak. Wajar kalau ketiduran. Lagian, ada apa mesti telepon saya dan marah-marah?” tanya Regi di ujung sana dengan nada tidak terima. Barra masa bodo! Baginya, mendengar suara Regi marah-marah lebih baik ketimbang ia yang diabaikan sejak tadi.
“Kamu pulang kapan?”
Barra mendengar kalau Regi menggeram mungkin kesal. “Saya sudah beri tahu Bapak sebelum berangkat tadi. Bapak lupa?”
“Tinggal jawab aja, susah banget.”
Mungkin kalau Regi ada di depan Barra saat ini, pria itu yakin gadis berambut cokelat itu sudah mendelik tajam juga bibirnya manyun lima centi.
“Besok siang saya pulang.”
“Oh, oke.”
“Itu saja?!”
“Iya. Saya enggak butuh info apa-apa lagi dari kamu.”