Barra sendiri keheranan kenapa dirinya ada di sini sekarang. Langkahnya seperti terorganisir tanpa perlu komando berlebih saat masuk ke toko yang menjual aneka penganan manis ini. Pun aroma yang kuat terasa menyapa penciumanya, sangat khas sekali. Barra suka camilan ini, namun tidak terlalu favorit. Hanya sekadarnya saja. Ia ingat berapa banyak kandungan lemak juga pemanis yang ada di dalamnya. Jangan lupakan kalau dirinya punya riwayat sakit gigi yang cukup parah hanya karena sebatang cokelat. Barra lebih memilih membeli bubuk cokelat dan diseduh ketimbang memakan dalam bentuk lainnya.
Puas mengitari outlet yang banyak didominasi pernak pernik pink ini, membuat Barra akhirnya memutuskan untuk membeli satu kotak berisi 24 cokelat aneka bentuk juga warna. Tempat sajiannya pun ia beli yang paling mewah. Oh, jangan lupa pita kecil berwarna emas sebagai penghias tak lupa ia semat di atas kotak tadi. Biarpun aneka bentuk, Barra tidak akan sudi memilih hati dan berwarna pink. Astaga! Ia ingin memberi Regi sebagai permintaan maaf. Bukan untuk menyatakan cinta.
Hal paling tidak masuk akal yang tiba-tiba hadir ketika melihat bentuk cokelat itu. Pilihan Barra jatuh pada bentuk kucing; putih, cokelat, polkadot, soft orange.
“Ini sudah sesuai dengan pilihan Bapak?” tanya pramusajinya dengan ramah. Barra hanya mengangguk.
“Sekalian sama cokelat bentuk mawar, Pak. Sedang promo.”
Barra mendelik. Yang benar saja!!! “Enggak, Mbak. Makasih.”
“Cookies cokelat kita juga sedang promo, Pak. Buy two get three, Pak.”
Dengkus kesal Barra keluar sudah. Mirip banteng tapi Barra mana peduli. “Aduh, udah Mbak, ya. Segera bungkus pesanan saya. Nanti saya telat berikan, Mbak yang saya tuntut ganti rugi, ya.”
Pramusaji itu langsung mengkerut.
Sekali lagi, Barra mengecek pesan yang masuk beberapa jam sebelumnya itu.
Regi cute :
Saya sudah masuk tol dalam kota.
Info doang. Saya enggak kabur.
Barra tertawa mendapati pesan itu. Ini membuat Bobby kebingungan karena tak biasanya bos besarnya itu mengabaikan sedikit meeting-nya hanya karena sebuah pesan. Tapi ketika mengetahui kalaua si pengirim adalah Regi, Bobby hanya tersenyum mafhum.
“Udah?” tanya Bobby tanpa ekspresi. Iya, dirinya didapuk untuk menemani Barra keliling mall hanya untuk memberikan Regi sesuatu sebagai permintaan maaf. Setelah kemarin malam teleponnya ditutup begitu saja, Barra akhirnya menyadari sedikit kesalahannya. Mungkin juga karena perutnya yang kenyang, pikirannya akhirnya sadar kalau ia sudah keterlaluan.
Yah, tidak ada salahnya memberi sesuatu sebagai permintaan maaf. Pikirnya begitu.
“Udah.” Barra berjalan memimpin. Di tangannya paper bag berwarna pink sudah tergenggam dengan setia. Hatinya menebak, pasti Regi akan suka hadiah yang akan ia berikan. Oh, jangan lupa tadi ia sempat menyisipkan satu katu permintaan maaf juga larangan untuk memakan cokelat itu sekaligus. Barra tidak mau menanggung akibat kalau Regi tiba-tiba mengeluh giginya sakit.
Pertama, selain ia pernah mengalami hal itu dan rasanya luar biasa tidak enak, ia juga tak ingin Regi mengalaminya. Ia yakin seratus persen, kalau Regi bakalan jauh merepotkan saat sakit ketimbang sehat. Sehat seperti sekarang saja, Barra sudah dibuat pusing dengan kelakuan bar-barnya. Apalagi kalau sakit? Bisa mati berdiri Barra dibuatnya.
Tidak. Tidak. Barra tidak mau mengambil risiko itu.
“Gue naik taksi aja dari sini,” kata Bobby ketika mereka tepat berada di depan lobby mall. Barra tampak menimbang.
“Oke. Thanks, ya.”