Mereka makan dengan santai. Sesekali ruang makan dipenuhi oleh obrolan random. Regi menerima apa yang dibawa Barra, dan langsung menaruhnya di kamar. Nanti saja dibukanya, toh, ia harus meladeni sang bos yang mau makan malam. Lagian, nanti nasi goreng serta telur mata sapi sempurna miliknya malah jadi dingin dan kurang enak untuk dinikmati.
Oh, jangan lupa Regi masih punya tugas lain. Membersihkan apartemen, yah... walaupun ia hanya menggunakan vacuum pada ruang tengah. Karena bulu Love pasti sudah banyak di mana-mana. Urusan lainnya, bisa dikerjakan di Sabtu mendatang.
“Gimana, Pak? Sudah lebih baik, kan, nasi goreng saya?” tanya Regi penuh harap. Bukan untuk dipuji, hanya berkeinginan kalau Barra menyukainya. Pujian dari Barra itu adalah hal termustahil yang akan Regi terima, kok. Ia menyadari dengan sangat akan hal itu. Jadi, ketimbang dirinya nanti diterjunkan dengan kecepatan penuh oleh bibir Barra yang tidak memiliki saringan, ia cuma berharap, Barra menyukainya. Itu saja.
“Better, lah.”
Seperti itu saja, Regi sudah kembang kempis dibuatnya. Setidaknya, lelah selama perjalanan dari Bandung ke Jakarta tidak lantas membuat semangatnya surut untuk memasak sesuatu untuk Barra. Dan harapannya setidaknya terjadi. Bibir Barra tidak melancarkan serangan yang akan membuat Regi kesal.
“Kamu buatkan saya jus?”
Regi mengangguk. “Ini semua sudah selesai, kan? Mau saya bereskan dulu. Sekalian cuci piring.”
Barra cuma merespons dengan deham kecil, lalu beranjak dari meja makan dan memilih duduk bersama Love yang masih enggan beranjak dari singgasananya. “Love kamu kasih makan enggak?” tanya Barra tiba-tiba.
Regi hanya memutar bola mata jengah. “Kalau enggak dikasih makan, nanti saya dibilang pesuruh yang tega sama anak majikan.”
Barra tergelak. “Bagus, lah. Inisiatif kamu tinggi berarti. Enggak sia-sia apresiasi saya buat kamu, kan?”
Dari sudut mata Barra terlihat Regi yang mengerucutkan bibir. Tampang gadis itu tak terima, bisa dilihat dengan jelas. Namun tak ada suara penolakan dari sana. Gadis itu lebih memilih berjibaku dengan pinggan kotor juga peralatan masak yang tadi ia gunakan. Barra mengedikkan bahu setelahnya.
“Jus saya bawa ke balkon saja.”
Tak ada yang bisa Regi lakukan selain menuruti apa kata bosnya. Ya, kan? Tanpa perlu menjawab ia hanya segera merapikan dapur, meja serta kursi makan yang tadi mereka gunakan. Regi memang tidak suka kalau area yang setelah ia gunakan, tidak kembali dirapikan. Bukan gaya Regi.
“Pak, jusnya.” Regi mendorong pelan pintu kaca yang memang sudah terbuka sedikit. perlahan ia berjalan ke sana karena tau ada Love yang masih melingkar. Regi waspada kalau-kalau kucing itu bangun, berjalan dengan gaya sok manja menuju majikannya, lalu mengeong seolah mengadukan nasibnya yang dicueki. Kalau Love sudah bertingkah seperti itu, rasanya Regi ingin sekali memasukkannya dalam kandang.
Pun menurut Regi, tatapan Love padanya seperti anak kecil yang sinis menatap musuhnya. Padahal, itu seharusnya milik Regi. Regi benci Love. Karena dia, Regi harus membersihkan kekacauan ditambah dimarahi habis-habisan. Enak? Sama sekali tidak. Seharusnya bisa dipergunakan untuk istirahat, malah harus bebersihan. Love? Bergelung manja di bantal kebesarannya.
Enak sekali hidup Love di sini!!!
“Oh, oke,” kata Barra sembari menurunkan layar tabletnya. Angin di balkon semilir membelai rambutnya yang tebal. Pun Regi. Rambutnya yang sudah dilepas gelungnya, tampak berantakan karena angin.
“Saya masuk, ya, Pak. Mau istirahat duluan. Bapak ada perlu lagi sama saya enggak?” tanya Regi agak sedikit takut. Biasanya Regi selalu menyisihkan waktu sekadar duduk diam di salah satu kursi yang ada. Entah hanya sebatas memainkan ponsel, memakan camilan sembari sesekali menimpali ucapan Barra, atau hanya berselonjoran manja. Tapi kali ini, Regi memang lelah.
Barra mengangkat pandangannya. Padahal ia masih ingin ditemani. Selama makan tadi, dirinya hanya bicara sedikit dengan sang gadis. Mereka lebih menikmati sajian yang ada. Makanya Barra berinisiatif untuk duduk di sini. Namun ketika matanya melihat Regi yang sudah terlihat lelah, Barra menyerah. Mungkin ketika weekend nanti, mereka bisa kembali bicara santai.