“Lho, saya pikir Bapak sudah berangkat.” Regi cukup terkejut mendapati Barra masih duduk di sofa ruang tengah. Walau TV layar datar besar itu tidak ada aktifitas apa-apa, namun tetap saja Regi heran.
“Kamu enggak lihat saya belum pakai dasi?”
Hubungannya sama Regi apa? Tidak ada sama sekali, kan? Regi memilih menuju rak sepatu. Mengambil wedges cokelat yang tidak terlalu tinggi. Hari ini ia akan seharian di kantor. Mengurus beberapa berkas customer-nya yang masih belum lengkap dan siang hari, ia memberi jadwwal untuk dirinya sendiri akan mengunjungi kantor pembiayaan. Bertanya masalah kontrak customernya yang lain.
“Regi, kamu mau ke mana?”
Saat gadis itu menoleh, Barra sudah menampilkan wajah garang. Regi bingung, sebenarnya pagi ini Regi salah apa? Pancake madu dan kopi sudah ia buatkan dan Barra menikmati dengan sangat. Bahkan sudah sedikit memberi pujian akan rasa pancake-nya yang tertakar pas. Kalau kopi, dari awal Barra memang menyukai takaran yang Regi punya untuk membuatnya.
“Mau berangkat, Pak.”
Terdengar decak kesal dari Barra. Lalu pria itu melangkah mendekat. “Pakaikan saya dasi. Enak saja main kabur.”
Regi melongo.
“Cepat, Regi. Saya ada meeting pagi.”
Ini kepala Barra sepertinya terantuk batu cukup keras.
“Tapi... tapi... “
Barra bukannya semakin menjauh, malah makin mendekat ke arah Regi yang sudah menciut. “Tapi apa? Cepat! Kalau saya bisa pergunakan tangan untuk membuat simpul dasi juga akan saya gunakan.”
Regi merasa aneh dengan kata-kata barusan. Tangan Barra memang sampai segitunya tidak bisa digunakan? Serius? Kok, Regi tidak percaya, ya. Tapi tetap saja, Regi menerima uluran dasi itu. Dasi berwarna hijau tua yang tampak senada dengan kemeja pilihan Barra memang mencerminkan dirinya sekali.
Dari jarak demikian dekat ini, aroma parfum Barra benar-benar membuat Regi terbuai. Beruntung Regi punya pengalaman berada di dekat pria, coba kalau tidak, mungkin ia sudah melempar dirinya dalam pelukan Barra. Tunggu. Tidak akan terjadi!!! Bagi Regi, Barra hanya sekadar tampan. Tapi kalau kelakuan, minusnya hingga menyentuh angka sejuta. Tidak mau!!! Regi tidak akan mau menjatuhkan dirinya dalam peluk Barra walaupun dada bidang itu sangat menggoda.
Terutama parfumnya.
“Kamu tinggi juga, ya.” Barra sesekali menundukkan pandangan. Yang mata matanya tepat mengarah pada ujung kepala Regi yang berdiri santai di depannya. Mengalungkan dasi dan membuat simpul dengan teliti. Membuka kerah kemeja yang tadinya rapi, pun mengancinginya lagi serta menepuk pelan bagian itu tanda sudah selesai pekerjaannya.
“Iya. Kata Ambu dulu, saya kebanyakan makan rebung.”
Barra terkekeh. “Ini yakin sudah rapi? Saya mau meeting. Saya enggak mau jadi bahan olokan kalau dasi saya enggak rapi.”
Regi memutar bola matanya malas. “Sudah. Rapi banget malah.”
Lalu netra mereka saling mengudara. Tinggi Regi persis di bawah dagu Barra. Regi tak susah payah untuk sekadar mendongak atau butuh bantuan berupa kursi kecil agar bisa memasangkan Barra dasi. Sama sekali tidak butuh. Namun Regi tak pernah siap ketika mereka sama-sama tidak saling melepaskan pandangan.
“Saya pamit, Pak. Bapak juga, kan.” Buru-buru Regi menggunting tatapan mereka. Ini tidak baik sama sekali.
“Kamu enggak lupa satu hal?”