“Gimana kabar kamu?”
Regi cuma memutar bola mata malas. “Ada apa? Aku enggak punya banyak waktu.” Sesekali ia mengecek arloji yang ia kenakan. Ia sungguh-sungguh, kok, bilang waktunya tidak terlalu banyak. Kepalanya terisi menyiapkan bawang, cabai, mengeluarkan ayam dari freezer, dan menyiapkan jus buat Barra.
Dion menghela napas panjang. “Aku nyuri banyak waktu untuk sekadar bertemu kamu, Yang.”
“Dion, please. Aku enggak ungkit kamu selingkuh di belakang aku. Kenapa? Malas. Percuma juga aku ungkit tapi kamu terus terusan seolah enggak terjadi apa-apa.” Regi kini menatap Dion dengan tajam. Ia tak peduli kalau nantinya dia akan terbawa emosi. Toh... kafe tempatnya bertemu tidak terlalu ramai. Pilihan Dion agar duduk di meja yang ada di sudut, jadi tidak terlalu terlihat banyak pengunjung lain.
Regi bukan tak ingin membicarakan hal ini terlalu dalam. Ia merasa, apalagi sejak kali terakhir bicara dengan Dion. Dirinya hanya sebatas pengisi saja. Toh, Dion tidak bisa memperjuangkannya. Mau menunggu sampai seperti apa? Bagi Regi, selingkuh itu pengkhianatan besar-besaran. Lalu ditambah alasan Dion berbuat seperti itu. Makin dingin saja hatinya untuk sekadar menerima permintaan maaf darinya.
Ini juga berkaitan dengan Rena. Sepupunya itu. Regi bukan tidak ingin menghancurkan apa rencana Rena. Regi hanya ingin hidup selayaknya biasa. Lurus dan normal. Tidak ada drama apalagi drama itu dipicu karena laki-laki. Memangnya Regi tidak bisa mencari calon tunangan lainnya? Seolah, Regi ini hanya kepentok sama Dion saja. Tidak! Tidak! Regi tidak mau ada label itu dalam dirinya.
Kecuali, Dion yang memperjuangkannya. Mungkin ia tak akan menyerah begitu saja. Hati perempuan mana yang tidak sakit melihat orang yang ia sayangi selama ini, berselingkuh? Dan kini, orang itu ada di depannya. Seolah, dia adalah orang yang paling menderita. Lalu, derita Regi tidak ada? Begitu?
Bahkan karena ulah Dion, Regi harus terkurung dalam penjara perjanjian dengan Barra Herdiyanto.
“Aku cuma mau tanya, apa benar kamu sudah bertunangan juga?”
Regi mengerjap pelan. Ingatannya diseret pada kejadian di mana mereka bertiga mengantarkannya ke apartemen Barra. Ia terburu-buru naik ke atas karena takut terkena semburan marah Barra. Ia tak tau apa yang Maudy katakan pada Dion, karena esoknya pun ia sudah sibuk dengan pekerjaannya.
“Ehm... gitu, lah.” Regi ikuti saja pertanyaan Dion. Terserah mau disangka apa. Toh, Dion sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengannya.
“Sebulan lagi aku juga resmi bertunangan, Sayang. Aku baru tau kalau kamu juga sudah bertunangan.”
Regi meringis. “Kalau mau tunangan, tapi masih bisa, ya, bibirnya berkata sayang buat perempuan lain. Gila kamu.”
“Yang aku sayang cuma kamu, Regi.”
Regi yang tak pernah sedetik pun mengalihkan pandangan tajamnya dari Dion, hanya memutar bola mata sebentar. Menikmati barang satu teguk lemonade pesanannya, lalu kembali menatap Dion tanpa putus. “Sudah, lah. Kalau cuma buang-buang waktu. Toh, bantuan yang kamu minta aku kabulkan. Kurang apa aku buat kamu?”
Sebenarnya jenis permintaan Dion kali itu membuat Regi merasa, benar apa yang Maudy katakan akan hubungan mereka berdua. Tidak sehat sama sekali. Dion meminta tolong agar Regi mengirimkan sejumlah uang untuk kedua orang tuanya sebagai bekal pulang kampung setelah dari Jakarta. Saat itu, Dion bonusnya belum cair.
Hingga detik ini, Regi malas untuk meminta uang tersebut padahal dirinya lebih butuh. Untuk tabungan tambahan Disti kuliah nanti. Ini kali terakhir Regi membantu Dion. Selama mereka berpacaran, sebenarnya banyak yang Regi beri pada Dion. Tapi pria itu selalu pintar membalik semua hal yang pernah Regi beri. Dan entah karena bodoh, polos atau terlalu sayang sehingga dia lupa, kalau mungkin niatnya pria yang ada di depannya, hanya memanfaatkan.
Mungkin. Regi tak pernah bertanya. Bagi Regi, apa yang sudah ia keluarkan, ya sudah.... tak ingin ia bahas lagi. Seperti kotoran, yang kena air flush, hilang dan tak perlu dicium lagi baunya.
Regi menghela napas. “Tolong, kamu sendiri yang berbuat. Kenapa sekarang malah seperti ngeribetin aku lagi? Kamu pernah bertanya enggak, gimana aku yang kamu sakiti?”
Mata Regi mendadak panas. Selama ini, semua yang menerpa dirinya karena Dion, selalu berhasil ditahan. Dan ia sepertinya harus berterima kasih pada Barra Herdiyanto, walau setan itu begitu menyebalkan, tapi karenanya... Regi bisa sibuk dan teralihkan secara sempurna. Mungkin kalau bukan karena Barra, dirinya akan terus menerus menangis dan menyesali kenapa hal ini terjadi padanya.
Apa sebaiknya Regi mengucapkan terima kasih secara tersirat, ya?
“Aku minta maaf,” kata Dion dengan lirihnya. Matanya menunduk menatap gelas saji pesanannya. Ia sendiri sebenarnya tak ingin ada di posisi ini, tapi mau bagaimana lagi. Segalanya sudah diatur sedemikian rupa. Pun kalau dibilang jahat oleh Regi, Dion terima. Hanya saja, dirinya terlalu bergantung dengan Regi dalam beberapa hal.