Regi tidak bisa berkutik sama sekali. Setelah dirinya memastikan menggunakan seat belt secara benar di sedan mewah milik Barra, pria itu sama sekali tidak bicara. Dia lebih memilih fokus pada setir dan jalan yang cukup macet. Regi hanya ditemani suara dari radio yang setia terputar tanpa ada niat untuk mengganti saluran lain.
Sebenarnya Regi tidak bisa seperti ini. Regi terbiasa di dalam mobil ramai, ada obrolan, atau bernyanyi seolah suaranya sudah yang paling bagus seantero ruang Bobo. Tapi sekarang? Jangankan mau mengeluarkan suara, bergerak saja Regi rasanya tidak bisa. Aura yang Barra keluarkan sangat menyeramkan. Entah karena apa. Regi sendiri bingung, memang apa salahnya?
Tidak ada.
Tadi berangkat kerja, mereka baik-baik saja, tuh. Malah Regi mendapat kecup kecil di pipinya. Ah, ini tidak benar. Ia harusnya bertanya, kan? Mana bisa bos seenaknya pada anak buah?! Memangnya Regi ini Love yang seenaknya dicium oleh Barra. Ini membuat Regi mengecurutkan bibir tanpa tidak terima. Ia harus konfirmasi apa maksudnya Barra seperti itu.
Harus!
Tapi niat itu hanya sebatas niat ternyata. Begitu Regi melirik ke arah sang pria, dari sisi samping saja, amarahnya terlihat. Ah, kenapa pula si Barra marah.
“Kenapa kamu?” tanya Barra ketus. Dari sudut matanya ia bisa memperhatikan kalau gadis yang duduk di sampingnya, gelisah dalam duduknya. Saat menoleh, Barra malah disuguhi pemandangan bibir manyun-manyun ala Regi. Astaga, gadis ini!
“Regi, jawab. Kamu kenapa?”
“Enggak kenapa-napa.” Regi belum mau menoleh ke arah Barra, lebih ke arah ia takut. Takut kena sembur.
Terdengar decak kesal dari Barra. Tuh, kan, tidak bertanya saja Regi seperti akan kena marah. Gimana kalau dirinya bertanya? Justru tambah perkara saja dirinya dengan Barra.
“Kamu mau makan apa malam ini?”
Regi mengerjap pelan. “Kata Bapak kita mau masak ayam rica-rica.” Diberanikan dirinya untuk sekadar menoleh pada Barra yang masih asyik dengan setirnya.
“Macet banget ternyata,” keluh Barra. “Makan di luar saja.”
Regi, sih, sebenarnya tidak keberatan sama sekali. Toh, justru menguntungkan dirinya. Sampai apartemen, ia tinggal membersihkan diri, lalu tidur.
“Mau apa?” tanya Barra sekali lagi.
“Saya ikut Bapak saja, deh,” putus Regi. Ia sendiri juga bingung kalau ditanya mau makan malam apa. Tidak ada menu spesial yang diinginkan. Malah Regi lebih ingin kerepotan, sih, di dapur Barra. Yah... walaupun dirinya lelah, tapi entah kenapa pujian yang hanya sebatas ‘better’ dari Barra, membuat semangat memasaknya menyala terus.
“Steak?”
“Saya ikut Bapak saja.”
Barra menghela napas panjang. “Kamu tau, saya paling benci kalau ditanya malah dijawab seperti itu.”
Regi kini menatap Barra dengan pandangan tak percaya. Apa-apaan bosnya itu?! “Kalau saya bilang mau makan ini, entar enggak sesuai selera Bapak, malah saya yang disalahkan. Jadi lebih baik saya ikut sama Bapak aja, lah.”
“Ya paling enggak kamu bicara mau kamu apa. Nanti saya coba sesuaikan.”
Perkara makan malam saja bikin Barra kesal. Menjemput Regi di kafe yang mana gadis itu duduk berduaan dengan seorang pria saja sudah membuatnya kesal, ditambah kali ini.
“Ya sudah. Saya mau makan ramen.”
“Ehm... kalau steak?”